Dua Puluh Satu

695 36 4
                                    

Hari ini hari Minggu. Banyak orang berpikir, hari inilah saatnya bermalas-malasan. Tapi tidak dengan Ify. Pagi-pagi, gadis itu sudah siap di boncengan motor Septian. Mereka akan pergi ke pasar.

"Pasar yang biasa, kan, Fy?" tanya Septian, di jawab anggukan dan ibu jari Ify. Motor Septian pun segera melaju.

Tiga puluh lima menit kemudian, mereka tiba di pasar. Sebagai kakak yang baik, Septian mengekori Ify. Sigap membawakan belanjaan apa pun yang di beli adiknya itu. Kegiatan belanja mereka selesai setelah empat puluh lima menit. Dengan total delapan kantung belanjaan, Ify dan Septian kembali ke motor. Motor pun kembali melaju dengan kecepatan sedang.

Lantaran ini hari Minggu, Ify dan Septian memutuskan untuk lanjut berjalan-jalan, tak peduli ada delapan kantung belanjaan yang mereka bawa. Mereka segera menuju taman umum yang terletak di sebuah perumahan.

"Beli es krim yuk, Kak!" ajak Ify. Ia menunjuk gerobak es krim dengan tangannya yang bebas. Septian pun menurut. Dua menit kemudian, keduanya sudah duduk di kursi taman dengan se-cone es krim di tangan masing-masing, juga dua kantung belanjaan di bawah kaki. Dua kantung itu tak bisa digantungkan di motor Septian.

Ify dan Septian memutuskan untuk mengobrol ringan. Mereka bercanda ria, sambil sesekali bergumam sedih akan perasaan rindu mereka pada orang tua. Setelah itu, kembali bercanda. Yah, begitulah.

Hingga sebuah erangan terdengar dari arah belakang mereka. Tak begitu jauh, karena erangan itu terdengar cukup kencang. Ify dan Septian langsung menoleh. Septian pun melirik Ify, mengisyaratkan pada adiknya itu bahwa ia hendak pergi memeriksa. Ify mengangguk, membiarkan Septian beranjak.

Septian berjalan mengendap mengikuti asal erangan. Sepertinya dari tepi danau.

Dan ternyata benar.

Septian menemukan seorang lelaki yang terduduk di tepi danau dengan badan membungkuk dan tangan mencengkram dada. Dengan panik, Septian segera berlari menghampiri orang itu.

"ALVIN?!!"

Septian mengenalnya sebagai Alvin. Adik kelasnya, sekaligus kembaran Gabriel. Sang wakil ketua OSIS. Dengan panik, Septian menyentuh pundak Alvin. Tak mendapat respon. Alvin sibuk dengan dadanya sendiri. Membuat Septian semakin panik.

"IFY!!! IFY!!!"

Yang di panggil muncul sepuluh detik kemudian. Tak seperti Septian yang berekspresi panik, Ify justru kaget mendapati sosok Alvin di dekat kakaknya.

"Kak, Alvin kenapa?"

"Ngga tau.. Dari tadi dia udah kaya gini, Fy."

"Al, lo mau apa??" tanya Ify pelan pada Alvin yang masih mengerang.

Tak mendapat jawaban, Ify memilih untuk menyentuh kening teman sekelasnya itu. Rupanya buliran keringat tengah mengucur di dahi Alvin.

"O-ob.. bat."

Suaranya terdengar lirih di sela erangan yang semakin menjadi. Jari telunjuk Alvin bergerak menunjuk sebuah ransel tak jauh dari sana dengan gerakan gemetar. Septian yang melihatnya langsung berlari meraih ransel itu, sementara Ify mengelus-elus punggung Alvin berusaha menenangkan.

Tangan Septian merogoh ke dalam ransel, lalu mengeluarkan beberapa bungkus obat dari dalamnya. Ia segera menyerahkan bungkusan itu pada Ify, yang langsung mengeluarkan semua pil-nya satu per satu. Lalu Septian mencari botol minum, tapi tak menemukannya. Buliran keringat mulai muncul di dahi ketua OSIS itu.

"Ngga ada airnya, F-"

Septian tak sempat menyelesaikan ucapannya lantaran Alvin telah keburu meraup beberapa pil sekaligus dan menelannya dengan tangan gemetar. Menyisakan beberapa pil di tangan Ify, pertanda obat itu tak perlu di minum. Ify pun memasukkannya kembali ke dalam bungkus, sambil mengisyaratkan Septian untuk menyangga tubuh Alvin. Septian menurut.

BACK HOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang