Pagi ini aku bangun tanpa adanya jam weker kesayanganku. Alhasil bangunku telat, telat sholat subuh, tidak ikut sarapan, macet karena pak Sopo mengantarkanku memakai mobil. Dan kacau balau.
Mungkin tuhan tahu bahwa aku takkan sanggup menerima hukuman membersihkan kamar mandi sekolah yang luasnya minta ampun, ditambah lagi suara pintu yang berdecit dan penerangan yang minim menambah kesan angker.
Pagi ini tak satupun guru piket terlihat mondar-mandir mencari mangsa, aku pun selamat untuk saat ini bahkan selamat sampai di kelas karena Karin baru saja mengirim pesan bahwa mapel jam pertama gurunya sedang cuti.
Kakiku melangkah santai seakan tak terjadi apa-apa, tapi saat melewati ruangan Bu kepsek aku melihat seseorang yang berseragam sama sepertiku namun aku belum pernah melihatnya. Dia sedikit lebih tinggi dariku, tubuhnya bisa dibilang cukup mumpuni, rambut dan jambulnya terlihat jenjang dan cocok dengan parasnya.
Aku langsung lari berhambur saat staf sekolah hendak menuju ruang kepsek, mencari keamanan akhirnya aku memilih untuk pergi sebelum ada yang tahu seorang Walananda datang terlambat ke sekolah.
Miris sekali saat aku tepat mendaratkan bokongku, bel tanda mata pelajaran berganti sudah berbunyi. Aku menghela napas lega.
Bu Retno selaku guru mata pelajaran Ips masuk lalu sesegera mungkin memulai pembelajaran, argh sungguh menyebalkan hari ini. Bangun kesiangan, datang terlambat, harus lari-larian karena kota Jakarta yang terkenal macet, ditambah lagi dengan pelajaran yang membuatku mengantuk ini ples perutku keroncongan minta diisi.
Tok... Tok... Tok...
Bu Retno membukakan pintu, ada seseorang yang baru saja masuk. Dia seorang laki-laki tubuhnya sedikit lebih tinggi dari Bu Retno, badannya cukup mumpuni, dan ber-jam... bul.
Aku menjentikkan jari seraya ber-oh ria, aku baru ingat bahwa dia adalah orang yang sama saat di ruangan Bu kepsek tadi. Bu Retno mempersilahkannya memperkenalkan diri untuk yang kedua kalinya ia diam mematung, etah ada apa dengannya dia malah menulis namanya di papan tulis.
Bu Retno hanya bisa tersenyum dan memberi tepuk tangan lalu mempersilahkan dia untuk duduk, anehnya lagi murid baru yang seharusnya lebih berbaur dengan lingkungan baru malah memilih duduk di bangku pojok.
°°°
"Rin kantin!" ajakku menarik tangan Karin secara sarkas, karena perutku sudah tidak tahan ingin makan.
"Ish! Pelan-pelan dong Wal!" sergahnya meringis kesakitan, aku terkekeh kecil. Kami sudah sampai di kantin yang penuh dan sudah memesan dua piring mi tek-tek.
Tak lama mba Tuti juru kantin sekolah datang membawa pesanan kami, lebih tepatnya pesananku. Karena dua pring mi tek-tek habis kulahap begitu saja tanpa aku sadari.
"Wal! Pelan-pelan kenapa sih, diliatin banyak orang malu tau. Cantik-cantik makannya kayak orang kesetanan," Karin berbisik sambil memperhatikan orang-otang di sekeliling kami.
Aku anggap itu biasa, Karin memang terlalu berlebihan menurutku. Terlalu menjaga image nya di depan semua orang, kalau aku takkan ambil pusing. Karin akan tidak jaim hanya saat denganku, karena dia tahu aku ya seperti ini anti sosial-sosial jaim club. Intinya semua orang boleh tertawa lepas ataupun melakukan hal bodoh denganku tanpa adanya rasa malu, yaa kecuali gak pake baju itu beda urusan.
Suapan terakhir berhasil tertelan dan meluncur ke lambung, aku bisa merasakan itu setelah meminum habis dua gelas air putih yang kupesan bersamaan tadi.
Ya ampun bagaimana bisa aku lupa dengan... Waduh gawat! Aku langsung berdiri dan membeli sejumlah makanan tak jauh dari tempat kami duduk.
"Wal! Mau kemana?" Karin meneriaki aku berkali-kali namun kali ini aku sangat terburu-buru karena ada yang hampir saja mati kelaparan.
Peluh nampaknya membasahi seluruh punggungku yang sekarang terasa basah, bentuk rambutku pun entah bagaimana jadinya karena sekarang bukan saat yang tepat untuk memikirkan hal itu.
•••
Published on 15 April 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Intertwine Of Us [COMPLETED]
Romance[Revisi setelah extra chapter] Awalnya dia adalah temanku, teman terbaikku. Tapi setelah status kami sebagai teman, kini dekat menjadi sahabat. Lalu kini status sahabat itu mengantarkanku pada perasaan yang sesungguhnya, aku memungkiri hal itu. Seti...