'5 - part b

952 52 0
                                    

Langkah kakiku terhenti kala mendengar anak-anak tertawa, adakah orang selain aku, Karin, dan pak Burhan yang menghibur mereka?

Aku bahkan sudah pernah berpesan pada mereka jangan pernah ada yang mengeluarkan suara disaat aku gak ada disana, lalu siapa yang sedang bersama dengan mereka?

Derap langkahku mengagetkan mereka, salah satu dari mereka berlari kearahku. Dia meminta maaf karena sudah bermain-main dengan orang asing, dan orang asing itu adalah Cakra, si anak baru. Entah kenapa ini semua menjengkelkan, apa yang menjadi rahasia takkan lagi menjadi rahasia.

Aku tersenyum simpul, lalu memberikan mereka makanan. Hari ini kubawakan sebuah cerita kancil sebagai teman di sela-sela makan mereka, mungkin hal ini yang membayar semua kejengkelanku.

Dari sudut mata bisa terlihat bahwa Cakra sedang duduk memperhatikanku, bukan masalah tingkat ke ge-er anku yang tinggi tapi ini nyata. Yang harusnya diperhatikan ya adalah ceritanya, bukan yang bawakan ceritanya.

Setelah selesai membawakan cerita yang cukup melelahkan mulutku, akhirnya mereka semua tertidur dan aku harap mereka tetap terlelap hingga pagi nanti. Untuk makan pagi sudah kupersiapkan semuanya.

Aku masih merapikan tempat dimana aku duduk, dan di sudut sana terlihat Cakra sedang menuliskan sesuatu di bukunya.

Aku bangkit. Cakra bangkit, tangannya menarik tanganku mungkin bermaksud agar kami berbicara diluar. "Mau kan jadi temen gue?" pertanyaan itu kembali ia tanyakan, aku hanya tersenyum simpul lalu berjalan beriringan dengannya.

Dia terlihat menulis sesuatu lagi saat kami tengah berjalan, "Wal pulang naik apa?" tulisan itu, sangat indah. Ku akui bahkan lebih indah dibandingkan punyaku.

Aku tersadar dari lamunku. "Dijemput," singkatku mengakhiri percakapan, kami sudah sampai di kelas. Aku menggendong tas ku lalu pergi tanpa kata 'duluan'.

°°°

Mungkin Karin sudah menungguku lama sekali, dia tahu aku lama bukan karena berkeluyuran gak jelas. Benar saja saat ini Karin sedang asyik memakan siomay di depan sekolah, aku merasa bersalah. Padahal sudah sering sekali aku membuatnya menunggu, tapi kali ini berbeda ada rasa yang membuatku tak enak hati dengannya. Mungkin karena kehadiran Cakra di grup rahasia kami, atu mungkin hanya perasaanku saja.

"Woy!" aku mengagetkannya membuat dia terlonjak kaget. Aku tertawa terbahak-bahak melihatnya terbatuk-batuk.

"Ke-bi-a-sa-an!" dia menggerutu. Aku semakin geli dibuatnya, bumbu siomay berantakan di sekitar mulutnya.

"Makan tuh, yang bener dek," ledekku menghapus bumbu siomay dengan tisu. Dia hanya bisa nyengir gak jelas.

"Nih bang!" Karin memberikan sejumlah uang kepada si penjual, lalu tidak lama pak Sopo datang menjemput kami.

Sebelum pulang aku meminta pak Sopo untuk mampir dulu membeli beberapa makanan sebagai teman kami saat mengerjakan proposal nanti.

°°°

"Ini yang nyusun susunan acara siapa? Niki?" Karin membolak-balikan susunan acara yang kubuat tadi.

"Bukan. Itu gue yang nyusun," aku mencebikkan bibir, kesal dengan kejadian tadi siang.

"Terus si Niki?!" Karin menyeruput jus jeruk yang berada di atas meja.

"Cuma diem bengong gak jelas gitu, ngebe-tein kan?!" aku menandatangani berkas terakhir yang sedari tadi menumpuk.

"Ehm gitu, bisa dijadiin alasan buat mecat dia nih!" Karin menjentikkan jari lalu menjatuhkan bokognya di atas tempat tidur, menimbulkan sedikit getaran.

"Bener juga! Gue setuju," aku ikut ikutan meniru gaya Karin.

Setelah waktu yang cukup lama kami habiskan, aku dan Karin membereskan semua kekacauan ini. Lalu masing-masing membersihkan diri dengan ritual mandi, awalnya Karin ingin pulang tetapi aku menyuruhnya untuk menginap supaya malam ini aku punya teman curhat dan teman bermalas-malasan di kamar.

Cklek...

Aku menutup pintu dengan hati-hati menggunakan sebelah kaki, lalu menaruh chicken steak pesanan aku dan Karin di meja. Malam ini bebas dari yang namanya tugas, laporan, dan PR yang pasti. Bu kepsek menyuruh kami para anggota osis agar lebih fokus menjalankan acara tahunan sekolah.

Karin menjatuhkan tubuhnya diatas ranjang kingsizeku, lalu bermain-main dengan ponselnya. Aku pikir ini saat yang tepat untuk memberitahu kedatangan teman rahasia baru kepadanya, Karin takkan marah apalagi teman rahasianya itu seorang cowok pasti dia juga ikut senang.

"Rin ada mau gue ceritain," aku mulai membuka percakapan sambil berpura-pura memainkan ponsel.

"Hm. Apaan?!" alisnya menaut karena sinar dari ponselnya terlalu menyilaukan mata.

"Ada temen rahasia baru," lanjutku kini game yang sedang aku mainkan terasa seru. Karin menoleh, aku melihatnya dari ekor mata.

"Siapa?!" tanyanya kaget, mungkin karena dia belum siap menerima anggota baru saat ini. Atau mungkin yang dia inginkan hanya ada kata 'kita' tanpa ada kata 'dia'.

"Cakra," lanjutku. Sumpah, aku mulai gagal fokus bercakap dengan Karin. Fokusku telah tersedot semua oleh game ini.

"Kok, bisa?!" dia memastikan lagi. Memang takdir, bila seorang sahabat memiliki kesamaan ataupun melengkapi kekosongan, buktinya tingkat dan kadar ke-kepoan seorang Karina dan Walananda itu sederajat.

"Sebenernya sih awalnya bukan gue yang ajak, tapi karena tempat rahasia kita udah kebongkar jadinya mending ajak aja dia jadi temen rahasia kita supaya rahasia ini gak akan bocor kemana-mana." jelasku, sejujurnya aku kesal dengan mulut Karin yang terus-terusan bertanya. Membuat konsentrasiku harus terbagi antara berbicara, berpikir, dan bermain.

Mulut Karin akhirnya mingkem juga, aku jadi tidak enak hati dengannya. Merasa bersalah dan merasa mengacuhkannya, mungkin.

•••

Published on 17 April 2017

Intertwine Of Us [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang