'4 - teman rahasia baru

1.3K 60 8
                                    

Pritt... Pritt... Pritt...

Pluit tanda mengawali latihan basket bagian putra sudah berbunyi sebanyak tiga kali, kami para cewek hanya duduk-duduk santai di tribun sambil menunggu giliran main.

Karin dan aku malah memilih bermain bola voli di pinggir lapangan, anak cewek lain ikut bermain dengan kami untuk mengusir rasa bosan karena harus menunggu.

Setelah bermain cukup sebentar mungkin aku perlu minum dan beristirahat sejenak, Karin membelikanku minum dan kamipun kembali ke aktivitas awal yaitu duduk-duduk menyaksikan permainan basket di tengah lapangan dan permainan voli di pinggir lapangan.

Kalu diperhatikan Cakra itu walupun punya keterbatasan tapi punya skill dan kemampuan yang gak semua orang punya, jujur sih apalagi melihat tulisannya kemarin itu lebih bagus daripada punyaku.

Kalau dilihat-lihat juga, dia gak jelek-jelek banget justru malah terlihat lebih menonjol dibandingkan cowok lain di kelas. Argh, jujur itu malu ya. Sebenarnya sih aku gengsi buat ngakuin kalau dia itu gan... teng, eh bukan ke... ren.

Memang sifat dari seorang wanita itu kan gengsi, termasuk juga aku. Aku gak akan mungkin bilang dia ganteng, mungkin aja cuma bisikan ghaib dari syaitan yang lagi ada di kuping kiriku. Tapi jujur lagi nih, rambut dan parasnya itu cocok dan itu yang membuat dia terlihat keren. Tapi kenapa dia seneng menyendiri ya?

Argh, tuh kan bisikan ghaib muncul lagi.

"Woy!" Karin mengagetkanku. Aku pura-pura berpaling kearah manapun asal dia tidak mengetahui aku sedang memperhatikan Cakra.

"Hayo. Lagi ngeliatin apa?" Karin menoel pipiku. Aku benci pipiku dipegang, Karin menyebalkan.

Malas sekali berbicara dengan sahabat paling jail sejagad raya ini, sudah berulang-ulang kali bahkan beratus-ratus kali kukatakan aku tidak suka pipiku dipegang. Tetap saja masih mengeyel!

°°°

Aku menutup pintu loker bernomor 27, sejujurnya sih aku suka angka ini.

"Kerjain proposalnya di rumah lo ya Wal, soalnya rumah gue kan lagi di renov?" Karin mengambil baju olahraga yang tadi dipakai untuk dibawa pulang.

Aku memasukan baju olahragaku kedalam paper bag. "Ya udah terserah, tapi dirumah gak ada makanan jadi harus beli dulu." aku menguncir rambutku seperti buntut kuda.

"Siap bu boss!" seru Karin lalu berjalan beriringan denganku menuju kantin.

Sekarang giliranku memesan makanan untuk kami, tadi Karin memintaku untuk memesankan Bakso super mas Didi untuknya dan hari ini perutku minta diisi mi ayam mas Puji.

Seperti biasanya si juru masak kantin-Mba Tuti menampakkan wajahnya lagi didepan kami. "Siang nona-nona cantik, ehm harum lo mi dan baksonya. Sering-sering ya belinya," mba Tuti tersenyum sehabis mempromosikan mi dan bakso. Sebagai seorang kepala kantin sekolah, mba Tuti juga harus bisa mempromosikan barang yang di jajakan agar mendapat upah yang semakin besar.

"Udah sering kali mba," Karin mendelik, kami tertawa bersama. Aku mengaduk lalu meniup mi sebelum dimasukkan kedalam mulut, ada makanan pasti ada pasangannya dong kan gak mungkin jomblo. Aku dan Karin juga memesan jus alpukat bersamaan tadi. Karin melakukan hal yang sama denganku sampai bagian terakhir menyisa di mangkok.

Setelah tuntutan isi perut telah terpenuhi, aku dan Karin berniat kembali ke kelas namun di tengah jalan kami berpisah karena aku harus mengurusi susunan acara tahunan sekolah yang akan di adakan sabtu malam bersama Niki.

"Mending kita minum dulu deh, kamu duduk aja dulu sini santai aja kenapa sih Wal?" Niki menarik pundakku hingga jatuh terduduk di sofa ruang osis. Aku menepis tangannya kasar, bagaimana bisa dia bilang santai sedangkan waktu sudah H-3.

Aku tidak ingin selalu berdebat dengannya bila sedang ada rapat, tapi kelakuan gila nya membuat otot otak dan sarafku bekerja lebih keras dan menegang. Untuk kali ini aku memilih diam selagi kelakuannya tidak menyinggungku, aku pikir lebih baik kususun sendiri susunan acara supaya semua pekerjaan lebih cepat selesai.

Entah apa yang diminumnya aku enggan menoleh apalagi melihat wajahnya aku sangat mual, setelah waktu yang cukup lama disini aku pikir tidak ada lagi susunan acara ataupun pekerjaan lain yang harus kuselesaikan jadi aku memilih untuk kembali ke kelas.

"Wal, mau kemana sih buru-buru banget?" Niki menarik tanganku, aku menyanggahnya dengan cepat.

"Ke Jonggol! Pake nanya lagi, udah tau bel pulang udah bunyi. Ya mau pulang lah!" bentakku meninggalkannya, aku yakin saat ini ia sedang menggerutu gak jelas.

"Walananda!" pekik seseorang di kejauhan. Aku menoleh, memicingkan mata sepertinya aku mengenalnya.

Dia seorang wanita seumuranku, dia berlari kearahku. Dia Sharon!

"Sharon?!" aku menganga tak percaya akan kehadirannya. Sahabat lama yang meninggalkanku pergi ke London, dan sekarang dia kembali.

"Hei!" kami pum berpeluk ria seperti teletubies, aku sangat merindukan parfum ini, rambut ini, raga ini. Aku sangat merindukannya.

"Kamu sehat kan?" kegembiraanku menggebu-gebu, senyumku mengembang-ngembang.

"Always," ia tersenyum aku ikut tersenyum.

"By the way, kamu ngapain disini?" pertanyaan itu keluar begitu saja.

"Aku bakalan sekolah disini bareng kamu,"

"Are you serious?" pekikku tak percaya.

"I'm so so so serious!" tangannya meninju udara.

"Aku pamit duluan ya udah ditunggu," dia menunjuk supir pribadinya di belakangku.

Aku memanggut-manggut lalu pergi ke kantin berniat membeli makanan lalu melakukan rutinitasku sehabis pulang sekolah, yaitu bercerita.

•••

Published on 16 April 2017 at 8:55 p.m

Intertwine Of Us [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang