'8 - dibalik kesakitan ini, kamu adalah obatnya

690 44 1
                                    

Satu hal yang pernah kurasa sejak pertemuan itu, tatapan dan senyum itu seakan menghanyutkan raga dan jiwa ini. Terhanyut kedalam perasaan yang lebih dalam lagi, sampai-sampai aku tak bisa merasakannya.

Ada sesuatu yang membuatku tenang setiap kali senyumnya mengembang. Entah seberapa besar itu, seberapa banyak itu. Yang pasti dapat membuat aku lupa akan diriku sendiri.

Untuk kali pertama ada senyum yang membuat hati ini terenyuh. Dia, mengapa wajahnya, senyumnya, tawanya selalu berputar-putar didalam kepala ini saat penghujung hari? seakan sebuah film yang diputar untuk menunjukan kembali dirinya.

"Cakra," suara lembut bunda menelusup ke telinga hingga membuat kepala ini menoleh.

Entah kenapa senyum yang biasanya menjadi penyemangat, saat ini justru malah membuat air mata menggenang di pelupuk.

"You're strong!" seru bunda, wajah keriput namun kalah dengan kecantikannya menunjukkan senyum yang merekah. Hingga mampu mebuat matanya menitihkan air yang begitu sering dia keluarkan.

"It's okay, i'm fine mom!" kata-kata yang sebenarnya ingin aku keluarkan dari kerongkongan ini. Namun aku tidak lupa diri, aku hanya mengisyaratkannya dengan acungan dua jempol.

°°°

Sakit ini tak pernah terasa kala senyum itu bertemu raga ini, kau mampu menjadi obat dikala kesakitan yang menggerogoti hingga ke yang paling dalam.

Kamu. Selama waktu yang bisa kuhitung, sejak perkenalan yang di luar dugaan itu, gudang itu, dan hingga kini tak perduli seberapa cepat hati ini tertarik dengan senyummu, tawamu, dan hatimu. Aku tetap ingin merasa sakit bila kau adalah sang penawarnya.

Ya tuhan. Terima kasih telah mengirimkan malaikat tak bersayap itu, menyisipkan kesenangan dikala kesedihan, membuat senyum ini kian mengembang, membuat rasa sakit ini sedikit terobati. Ya tuhan. Satu pintaku disetiap yang lima waktu, jagalah dia malaikatku, agar senyum, tawa, dan raganya masih bisa kurasakan.

Aku memetik senar gitar ditangan, memulai lagi kebiasaanku sebelum kejadian mengenaskan yang merenggut suaraku. Tenggorokan ini kian menyeru untuk bernyanyi, menyesuaikan dengan nada dan syair. Namun kembali mengingat lagi, bahwa itu takkan mungkin terjari kembali.

Sebelum kecelakaan itu, ayah selalu memangkuku untuk sekedar belajar memetik senar. Walupun dengan nada dan irama yang kacau, aku rindu kala itu. Kala dimana aku bisa bebas berteriak tanpa ada jeda, bebas bernyanyi tanpa ada kata berhenti.

Cklek...

Disana. Perempuan tercerewet dihidupku sedang berdiri di ambang pintu, dia kakakku. Kak Melani, dulu dia juga sering berlatih bermain gitar bersamaku. Namun dia selalu gagal, maka setiap ayah dan bunda membuat challenge aku selalu jadi pemenang. Tapi dia juga mahir dalam menggesek senar biola, suara yang dihasilkan begitu indah ditelinga.

"Adikku sudah besar rupanya," Kak Melani melangkah mendekat, kemudian duduk di sofa kamarku.

Aku sedikit menoleh, kemudian tersenyum. Lalu kembali memetik senar, mencoba-coba memasukan beberapa kunci.

"Melan. Cakra, ayo makan dulu bunda tunggu di bahwah!" suara bunda terdengar hingga ke kamar. Aku dan kak Melani berlomba-lomba mencapai meja makan terlebih dahulu.

•••

Published on 30 April 2017

Intertwine Of Us [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang