'3 - part c

1.4K 78 5
                                    

Aku mendorong pagar besi tua bagian gudang ini, aku benci ini, aku benci gelap, aku benci lorong, kalau bukan karena dia takkan pernah mau melakukan hal gila ini.

"Hey! Aku bawain kalian makanan nih, ada nasi, ayam goreng, sama jus. Kalian pasti suka," senyumku mengembang dengan peluh menyertai, mereka dengan sangat antusias memeluk dan berterimakasih padaku.

Kalian takkan percaya apa yang aku sembunyikan di gudang sekolah, hanya sekumpulan anak kecil yang terpisah dengan orangtuanya. Mereka sempat tinggal di gudang rumahku, tapi bunda dan ayah mengusir mereka.

Jadi, sudah kuputuskan gudang tua milik sekolah kujadikan tempat tinggal sementara mereka sampai bertemu dengan orangtua mereka kembali. Hal gila bukan? Ya tidak terlalu gila, toh jarang kan office boy bersih-bersih sampai kepelosok sini. Lagi pula ada Pak Burhan tukang kebun sekolah yang ikut membantuku mengontrol keadaan mereka, disini tidak terlalu buruk bahkan ada kamar mandi dan penerangan yang cukup. Untuk mengusir rasa bosan mereka, aku sendiri sering membawakan buku cerita sekaligus bercerita kepada mereka.

Karin juga pernah memberi saran agar mereka dititipkan ke panti asuhan yang layak, ataupun menyewakan mereka rumah. Tapi mana mungkin seorang pelajar sepertiku ini bisa menyewa rumah, dan masalah menitipkan mereka tidak mau karena sudah berulang-ulang kali mereka dititipkan ke panti asuhan tetapi hanya diperbudakkan. Mudah-mudahan mereka aman disini, sampai waktu yang tepat.

Tak... Tok... Tak... Tok...

Suara langkah kaki seseorang sedang berjalan menuju kemari, aku berharap itu bukan pak satpam galak penjaga gerbang sekolah. Dia berjalan begitu lambat lama-kelamaan suara langkahnya semakin jelas didengar, aku menyuruh semuanya untuk diam sedangkan aku mengintip keluar lewat lubang kunci.

Mataku belum melihat tanda-tanda kedatangannya, ada bayangan seseorang bertubuh tinggi namun aku masih belum bisa menangkap sosok tersebut. Dia berjalan bayangannya berubah, semakin dekat semakin jelas dan di... a.

Anak baru?! Aku memekik sekencang-kencangnya dalam hati, alisku menaut tajam. Sempat ada rasa kesal entah kenapa disaat ada seseorang selain aku, Karin, dan pak Burhan yang kesini. Tanpa pikir panjang dan apa yang harus dipikirkan lagi tanganku membuka pintu, lalu berjalan cepat mengejar anak baru tadi. Rasanya mulut ini ingin sekali mengoceh didepannya.

"Heh, anak baru!" pekikku padanya saat tiba di taman belakang sekolah. Dia berbalik menatapku kaget.

"Kenapa ngeliatin?!" aku mendelik, amarahku semakin menjadi-jadi. Tanpa rasa bersalah dia perlihatkan muka yang seperti itu?! Menyebalkan.

"Ngapain lo disini?! Ini tuh tempat rahasia gue, dan siapapun gak ada yang boleh kesini kecuali Karin dan pak Burhan!" anak itu malah menulis sesuatu pada buku yang dia pegang.

"Jawab dong jangan diem, punya mulut gak sih?!" anak laki-laki itu terlihat ketakutan, matanya sayu dan air mata jatuh begitu saja.

Dia memperlihatkan tulisan yang dia tulis tadi, "maaf gue bener-bener gak tau, gue gak bisa ngomong". Ya ampun, apa yang udah aku lakukan itu benar-benar sudah melukai hatinya.

"So... rry, Wal gak tau." aku menunjuknya dengan jari telunjukku, aku menyesal telah menuduhnya dan memakinya sampai seorang laki-laki menangis.

Aku pikir mungkin dia menanggung beban yang amat berat sampai-sampai air matanya lolos, ya ampun dimana sih letak hati seorang Walananda?! Bisa-bisanya ngomong sampe nyakitin hati orang.

Dia tersenyum lalu mengisyaratkanku untuk duduk di sebelahnya. Aku pikir ide yang bagus menambah satu orang teman rahasiaku, hal yang tidak terlalu buruk.

Anak itu menatap langit yang sedang cerah saat ini, sepertinya dia bahagia. Aku bisa menerkanya karena senyumnya terus mengembang-ngembang, aku masih terdiam dengan seluruh isi otakku yang penuh rasa penasaran.

"Nama lo siapa?" aku memberanikan diri bertanya. Dia menoleh lalu kembali menulis.

"Cakra?" dia mengangguk senang, "nama yang bagus," pujiku menambah sirat senyum di wajahnya.

"Kalau lo?" dia memperlihatkan buku tulisnya. Aku menunjuk diriku sendiri sebelum menjawab.

"Walananda." jawabku lalu tersenyum simpul. Dia kembali menulis sesuatu dibukunya.

Drrtt... Drrtt... Drrtt...

Ponselku bergetar beberapa kali, id caller Karin tertera di layar aku menggesernya ke kolom berwarna hijau lalu mengawalinya dengan kata hallo.

"..."

"Ya udah, lo siapin aja dulu nanti sepuluh menit lagi gue nyusul."

"..."

"Oke Rin," aku menutup sepihak, lalu kembali menatap Cakra.

Dia menyodorkan buku tadi sekarang dia menuliskan "mau kan jadi temen gue?!" wajahnya terlihat mengharapkan jawaban 'ya' dariku. Entah kenapa kepalaku memanggut-manggut sendiri.

"Ada rapat osis, Wal duluan ya." tangannya menyanggah tanganku, dia tersenyum aku ikut tersenyum. Sungguh pertemuan yang aneh.

Tanpa harus kupikirkan lagi aku kembali ke tujuan awal yaitu rapat osis.

•••

Published on 16 April 2017

Intertwine Of Us [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang