'16- part b

517 33 0
                                    

Sungguh aku jatuh hati...

Aku tersenyum lebar, jantungku berdegup lebih cepat kali ini. Pasalnya kepala Wala bersandar di bahuku, tapi aku berusaha untuk menutupinya.

"Eh, gerimis Cak!" aku berdiri, Wala pun begitu. Kami berlari menuju tangga untuk turun.

Bel pulang sudah berbunyi sejak duapuluh menit yang lalu, tetapi masih ada murid yang menunggu hujan reda atau sekadar duduk menunggu jemputan datang.

Di kelas pun tampak kosong-melompong tak ada satupun siswa disini termasuk Karin yang mungkin sudah pulang sejak tadi, padahal tadinya aku berniat mengembalikan catatannya yang kupinjam minggu lalu.

"Aku pulang duluan ya Cak!" aku menyanggah tangan Wala, mencegahnya untuk pergi.

Derita si bisu sepertiku, hanya bisa berbicara dengan bahasa isyarat atau sekedar menuliskannya di atas kertas. Aku memberi isyarat kepada Wala agar pulang diantar denganku saja.

"Kenapa?!" Wala melihat gerak-gerik tanganku yang sedang memberi isyarat.

"P-u, pu. L-a-ng, pulang. S-a-ma, sama. A-ku, aku. Pulang bareng maksudnya?" aku mengangguk mantap akan hal tersebut.

"Yuk!" tangannya menarik lenganku bermaksud supaya cepat pergi dari sini.

Sampai di depan motorku, hari ini aku membawa motor kesayangan almarhum eyangku. Motor ini diberikan eyang sewaktu umurku duabelas tahun, dan motor ini adalah turun temurun dari kakek buyutku dan para pendahulunya.

Aku menyodorkan helm pada Wala, dia menatap aneh motorku mungkin aneh atau apalah. Dia sempat terpaku memandangi sepeda motor tua ini dengan sangat jeli dan beberapa kali mencoba membelalakan matanya.

Alisku terangkat, dia menatapku aneh. "Kita pulang naik motor tua ini?!" Wala menunjuk motorku, ya memang ini motor tua tapi ketahuilah ini jauh lebih keren dari motor gede yang sering melaju di sirkuit.

Aku mengangguk mantap, dia mengerutkan alis dan tersenyum yang sekiranya dipaksakan dan aku tahu itu.

"Kamu tahu gak Cak? Ini tuh motor yang aku taksir sewaktu aku sama papa pergi ke pameran otomotif!" ternyata aku salah. Wala justru menganga tak percaya, bukan karena tidak suka.

"Ini beneran motor kamu?!" dia menyodorkan helmnya padaku, kemudian meraba-raba motorku sambil terus menyunggingkan senyuman.

"Mesinnya masih bagus Cak!" aku bahkan tak mengerti masalah permesinan ataupun apalah itu tentang otomotif.

Dia menoleh saat aku memberi isyarat dengan jari. "Ma-u, mau. C-o-ba, coba. B-a-w-a, bawa? Mau banget! Tapi gak bisa bawa motor, gimana dong?" dia mengerucutkan bibirnya itu lucu bagiku, sang malaikat bisa manja juga.

"Gerimis juga lagi?!" bibirnya semakin maju dan sekarang memiliki panjang 5 senti.

"A-k-u, aku. A-j-a-r-in, ajarin. K-i-ta, kita. Ti-tip, titip. T-a-s, tas. D-i, di. P-o-s, pos" Kali ini aku memberi isyarat dengan mengeja kata dan bahasa tubuh, supaya memudahkanku ketimbang harus memakai isyarat jari yang lebih rumit.

Wala mengangguk semangat dan langsung mengambil tas dari punggungku, lalu berlari menuju pos satpam dan sedikit ada percakapan disana kemudian kembali lagi dengan berlari.

"Udah!" dia mengangguk sambil terus tersenyum, aku tertawa kecil melihat tingkahnya.

Aku duduk diatas jok motorku kemudian disusul Wala di belakang, sepertinya dia sedang tersenyum sendiri. Aku menancapkan gas menimbulkan kepulan asap tipis di udara.

Gerimis terus saja merutuki kami, aku sedang mencari tempat yang strategis untuk belajar motor dan sepertinya aku tahu tempat itu.

Aku berhenti di pinggiran jalan, Wala turun disusul aku. Aku menyuruhnya duduk di jok pengemudi dan aku mengawasinya di jok penumpang, memerhatikan dan memastikan bahwa dia baik-baik saja.

Intertwine Of Us [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang