Blug...
Entah barang apa yang kulupakan tapi yang terpenting saat ini barang yang kugenggam sejak di sekolah adalah sesuatu yang sangat menaikkan kadar penasaranku, bunda pun aneh melihat kepulanganku yang lupa akan menyaliminya dan mulai saat ini aku harus belajar tidak terlalu memikirkannya.
Aku duduk di sofa kamar sambil memandangi pemandangan hujan yang baru saja turun di luar sana, kotak ini perlahan kubuka tutupnya menyisakan sebuah note berwarna dark disini.
Ototku bergerak membentuk seulas senyum, entah kenapa sekalipun sesuatu yang tidak terlalu berarti akan menjadi sangat berarti bila itu dari sang malaikat.
Terdengar suara engsel pintu berdecit, aku menoleh dan mendapati bunda sedang menutup pintu.
"Check up yuk!" bunda duduk di sampingku, diatas penumpu tangan lalu mengusap-usap pundakku. Rasa yang sama saat bunda dan Wala dekat denganku, nyaman. Nyaman sekali.
Aku beranjak dari dudukku lalu mengikuti arah bunda berjalan menuju mobil.
"Kamu keliatan lebih bahagia? Apa semua ini karena perempuan itu Cak?" suara lembut bunda menyelusup hingga ke telinga, membuat senyum ini kian mengembang.
"Semoga chek up kali ini membawa kabar baik untuk kita," bunda berusaha menegarkan hati ini, dan sebenarnya aku tahu bahwa hati bunda lebih sakit dariku.
Mobil kamipun melaju pelan, menembus jalanan sore yang padat merayap.
°°°
"Bisa tinggalkan kami berdua?" Dokter menyuruh aku agar menunggu di luar, mungkin ada sesuatu buruk yang ingin disampaikan.
Note yang Wala berikan masih ada dalam genggamanku, perasaanku sedikit tak karuan entah apa penyebabnya.
Aku benar-benar jenuh harus bolak-balik dan menunggu di tempat terkutuk ini, kabar apa yang membuatku menunggu selama ini? Sudah hampir satu jam aku duduk dan melamun disini dan itu jelas-jelas membosankan.
"Permisi!" suster yang sedang membawa pasien menyuruhku untuk menyingkir dari jalanan. Kemudian dia dan rekannya tampak membawa bangkar berjalan dengan seseorang di atas bangkar itu, alat-alat medis yang menempel serta tubuhnya yang terbaring lemah mengingatkanku pada seseorang.
Itu Walananda! Pekikku pada diri sendiri, dan aku benar-benar yakin itu adalah malaikat pengharapanku.
Kaki ini seolah serbuk besi yang ditarik magnet, berjalan sendiri menuju hal yang membuatku merasa penasaran. Aku berhenti di depan ruang UGD karena suster tadi melarangku untuk masuk.
Iya, itu memang Wala. Gadis perantara kebahagiaanku sedang terbaring lemah disana, matanya tertutup dan dia terlihat tenang. Tapi disini mataku menyaksikan dia, aku lemas.
Apa yang terjadi? Aku berharap malaikatku baik-baik saja dan bagaimana aku bisa tenang?
Suster tadi keluar dan menghampiriku. "Pasien kekurangan darah, apa anda anggota keluarganya?"
"Baiklah, kami akan memeriksa kecocokan darah anda." suster itu membawaku ke ruang tes darah setelah dia melihat apa yang aku tulis di note tadi.
Suster itu menyuntikkan sesuatu padaku, kemudian jarum itu perlahan-lahan masuk dan menyedot darahku. Kemudian dia meneteskannya pada sebuah alat lalu membaca sesuatu, dia mengambil darahku lagi tapi ini lebih banyak dan diambil menggunakan infusan.
Suster itu berlari ke ruang sebelah untuk memberikan infusan yang berisi darahku, dia pasangkan pada malaikat pengharapanku.
Aku bisa menyaksikan semua hanya lewat kaca besar di hadapanku ini, tanpa kusadari tetesan pertama jatuh mengenai pipi kemudian membanjiri.
Aku duduk di kursi tunggu namun kali ini aku menunggu kabar gembira dari suster tadi, bunda pasti khawatir mencariku kemana-mana.
Cklek...
"Anda kakaknya?" suster itu keluar dengan dokter dibelakangnya. Aku mengangguk lalu tersenyum kemudian masuk kedalam setelah mereka pergi.
Mata ini menelusuri seluruh bagian ruangan ini, semua terlihat tenang seperti malaikatku. Walaupun sedang dalam keadaan terbaring lemah dia tetap terlihat cantik, dia gadis yang kuat.
Awalnya kukira ini hanyalah ilusiku karena ingin sekali bertemu dengannya, tapi sekarang ilusi itu terjawab dan benar bahwa dia sedang terbaring lemah disini.
Jari-jemarinya mulai menunjukkan pergerakan, matanya perlahan-lahan terbuka kemudian dia menyesuaikan cahaya yang masuk.
"Bun," dia memanggil seseorang yang kurasa itu adalah bundanya, tapi disini hanya ada aku saja.
Aku mencium punggung tangannya, hal yang kurasa saat ini air mataku menetes namun penyebabnya adalah kebahagiaan. Bahagia bisa melihatnya kembali sadar, bahagia bisa menjadi orang pertama yang dia lihat saat sadar, dan orang yang mengecup punggung tangannya dikala dia terbaring lemah.
"Cakra?" dia menatapku dengan mata yang sayu, matanya seperti magnet dan mataku seperti serbuk besi tertarik dan ingin terus-menerus menatapnya.
"Tolong jangan kasih tau siapapun tentang ini ya?" dia mulai berbicara namun kali ini tatapannya berubah serius, air mata malaikatku perlahan-lahan mulai menetes entah apa itu penyebabnya.
"Bunda pasti sedih, tolong ya?" dia memegang tanganku tersirat kesedihan dari tatapan matanya. Aku mengeluarkan note, lalu mulai menuliskan sesuatu.
Dia melepas alat bantu bernafas. "Keluargaku punya sil-silah yang buat aku seperti ini sekarang, kakekku dan para pendahulunya punya garis keturunan gula darah yang tinggi. Bundaku belum tahu soal ini, dan aku harap bunda dan papa gak akan pernah tahu soal ini."
"Di dua tahun lalu, tepatnya saat duduk di bangku kelas tiga SMP aku yang mendamba-dambakan berfoto bersama kedua orang tuaku saat wisuda hanya bisa terbaring lemah di atas bangkar ini. Dokter mendiagnosa bahwa aku mengidap penyakit pada darahku, kondisiku saat itu sangat memperihatinkan akhirnya aku harus mengejar paket C agar bisa lulus dan impian itu harus kubuang jauh-jauh."
Aku memerhatikan setiap kata yang dia ucap, dia begitu kecewa.
"Bunda pernah terpuruk karena papa pernah meninggalkan kami, papa Benny bukan ayah kandungku tapi dialah yang membuat hidupku terasa lebih berisi. Aku mendengar kabar papa meninggalkan kami bersamaan dengan keluarnya hasil diagnosaku, bunda benar-benar menyesal karena tidak pernah berada di sisi kami saat papa sedang terpuruk. Tapi saat itulah aku benar-benar terpuruk dengan berita kematian papa, dan kedatangan bunda yang membuatku semakin sakit" suara malaikatku semakin kecil, dan sekarang terdengar isakan. Mulutnya dan mulutku tak mampu lagi berkata apa-apa, kuharap genggamanku bisa sedikit menguatkannya.
"Aku mohon Cak?!" mata yang berair itu menatap lekat mata ini, tangannya semakin erat menggenggam tangan ini.
"Kamu mau lihat sahabat kamu bahagia kan, Cak?" aku memeluknya dan mengusap-usap puncak kepalanya, ada satu kata yang masih mengiang dalam kepala ini kata itu terasa perih bila kuingat lagi.
•••
Published on 11 Mei 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Intertwine Of Us [COMPLETED]
Romance[Revisi setelah extra chapter] Awalnya dia adalah temanku, teman terbaikku. Tapi setelah status kami sebagai teman, kini dekat menjadi sahabat. Lalu kini status sahabat itu mengantarkanku pada perasaan yang sesungguhnya, aku memungkiri hal itu. Seti...