'31

530 29 0
                                    

Di kamar yang berantakan ini, semua barang berserakan dimana-mana. Tepat di depan jendela besar itu, seorang wanita tengah duduk sambil memeluk kakinya, tatapan kosongnya seakan menjadi penghilang beban pikiran yang menggulung.

Mata indah itu berubah hitam dan bengkak, rambut itu kian berantakan. Sudah dua hari belakangan kamarnya selalu dikunci, ponselnya dimatikan, dan dia sama sekali enggan untuk beranjak dari tempat itu.

Tatapannya selalu kosong, tiap kali ada objek yang ada dia menghiraukannya. Otaknya terlalu kecil untuk menyimpan memori yang amat pedih itu, hatinya terlalu lemah untuk tidak menitihkan air mata lagi, meskipun dia tahu tak ada lagi tempat dia mengeluh selain kepada dirinya sendiri dan tuhan.

Dia ingin pelukan itu, dia ingin menjerit sampai tidak bersuara dalan dekapan itu. Tapi semua berubah, tak lagi sama seperti dulu.

Janji yang mereka buat sama-sama telah hancur dan Wala tidak merindukannya lagi, kepercayaan yang mereka rajut kini sudah lapuk dimakan amarah dan keegoisan hati.

Mereka sama-sama rindu.

Wala sempat merasakan itu, ada benih yang paling kecil disana dan itu bisa tumbuh lagi. Tapi kebenciannya menduduki daerah yang lebih luas dibanding benih itu.

"Andai kamu tau hati ini pernah kagum dan terpesona oleh sosok setegar dirimu, dan ada tunas perasaan yang kian tumbuh karena terbiasa hingga kini kamu mematikan tunas yang sedang tumbuh itu"

Wala menyapukan pipinya yang basah karena air itu lagi, dia beranjak lalu menyambar hoodie yang menggantung.

Saat dia berjalan menuruni tangga, art rumahnya menatap khawatir. "Non mau kemana?" tanyanya hati-hati.

"Keluar bentar," jawabnya seraya membuka pintu.

Sejak keluar dari rumah sakit dia sudah membulatkan tekad untuk tidak membiarkan keterpurukan terus mengiringi langkahnya, dia bisa sembuh dan sehat dengan atau tanpa pegangan.

Dan setelah dia merasakan perasaan itu, jatuh cinta menjadi hal yang paling indah. Dia semakin yakin jika Jevanlah pegangan yang seharusnya dia percaya, dan sekarang dia tak mau ada hal yang tertutupi lagi diantara mereka.

Dia datang dengan bermodalkan keberanian dan kejujuran, padahal dia akan berhadapan dengan hal yang akan menguras air matanya.

Disana tepat di sebuah saung berlatarkan pemandangan danau yang indah, sang pewujud rasa cinta Wala sedang bersendau gurau bersama cintanya yang lain.

Mata itu menyaksikan sebuah kebenaran yang sekarang terungkap jelas, dihadapannya orang yang telah ia jadikan tempat pelimpahan semua perasaannya kini menghianati.

Sekuat apapun dia menahan air mata itu untuk tidak jatuh tetap saja itu kan sia-sia, hatinya sudah tidak mampu melihat dan menyaksikan semua kesakitan ini, sudah terlalu penuh untuk menampung hal-hal menyakitkan.

Jevan tersentak lalu menjauh. "Wal?!" dia menggapai tangan yang rapuh itu seraya menatap penuh penyesalan.

"Kamu tega! Kamu sama kayak cowok bajingan diluar sana Van!!!" tangannya meronta-ronta agar dia melepaskan.

"Maksud kamu?" tanyanya dengan tampang yang membuat Wala geram.

Plak...

Tampatan manis mendarat mulus dipipinya, dia meringis tapi itu belum seberapa perih dibanding tangis Wala yang kian pecah.

"Kamu kasih aku harapan yang buat aku terbang mengudara, lalu sekarang kamu banting aku dengan keras ke tanah!!! Kamu gak punya hati!" dengan suara dan hidung yang tersumbat Wala terus melancarkan pukulan didada Jevan.

"Harapan?! Aku gak kasih kamu harapan," Jevan benar-benar dalam keadaan bingung.

"Lalu kamu anggap semua perhatian itu apa?! Setiap kali mata kamu natap aku itu apa?! Setiap kali pundak kamu jadikan keluhan aku?!" dia menjerit namun saking sakitnya hingga tak bersuara.

"Aku anggap kamu udah kayak adik aku Wal," Jevan menjelaskan semua dengan tatapan nanar dan semakin bingung dengan semua.

"Adik?! Kamu gak tau perasaan aku? Hah? Disaat seorang kakak kelas yang aku suka sejak tiga tahun lamanya datang dan deket sama aku, aku pikir itu jalan tuhan buat nitipin rasa cinta untuk pertama kalinya ke aku." dia berjalan mundur menghindari Jevan yang melangkah semakin dekat.

"Kamu jahat!!!" Wala berlari pergi menjauh dari hal yang hanya akan membuatnya semakin sakit. Jevan hanya mampu melihat punggung Wala yang semakin kecil.

Wala bingung harus menumpahkan semua pada siapa pada apa? Dia butuh Cakra sekarang, cukup selama ini perasaan itu membunuhnya secara perlahan.

Tok... Tok... Tok...

Pintu terbuka, Cakra disana. Wala langsung memeluknya sangat erat, menjerit dan memekik hingga tenggorokannya sakit.

Jari-jemarinya mencengkram erat punggung Cakra, berusaha mengeluarkan semua sakit yang terpendam.

Cakra tidak mengerti apa yang terjadi, tapi dia bersyukur pelabuhannya telah kembali pada dirinya. Tangannya terus mengelus-elus puncak kepala Wala, hingga kini Wala jatuh kedalam dekapannya.

"Wal!" semua panik termasuk Karin, beberapa kali mereka mengguncangkan tubuh itu agar segera sadar.

Namun sang malaikat tak kunjung bangun, hingga kenyamanan menjadi teman terakhir yang terlukis.

•••

Published on 12 June 2017

Intertwine Of Us [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang