'26

380 26 0
                                    

"Rin! Cerita sama gue, lo kenapa? Dari kemarin lo gak mau makan, tadi gak sarapan. Sekarang lo harus makan, ya?" Wala mengusap-usap punggung tangan Karin, namun Karin masih dengan tatapan kosongnya.

Sejak kejadian satu minggu lalu Wala memutuskan untuk menginap di rumah Karin, berjaga-jaga bila ada sesuatu yang terjadi nantinya. Setelah tangisan itu, tatapannya selalu kosong, raut wajahnya selalu sedih dan matanya selalu berkaca-kaca sebelum terisak lagi.

Wala menyuapi Karin dengan bubur, selepas pulang sekolah mereka bertiga, Wala, Cakra, dan Radit datang untuk melihat keadaan Karin.

"Rin, lo kenapa sih? Jangan buat kita khawatir kayak gini, cerita sama gue jangan diem terus" Wala menangkup Karin, tersirat rasa khawatir dimatanya.

"Dia jahat Wal!" Karin memukul kakinya sendiri, kali ini dia mau berbicara setelah kejadian dua minggu yang lalu.

"Dia? Dia siapa Rin?!" nada bicara Wala sudah seperti orang frustasi, dia sangat khawatir dengan kejiwaan Karin.

"Jahat Wal! jahat!" Wala menariknya kedalam dekapan lagi.

"Rin! Om sama tante kemana kita belum izin sama mereka?" mata Karin berair.

"Om? Tante?" dia linglung dengan pertanyaan Cakra, tatapan kosongnya kembali menguasai, namun kali ini dengan air mata yang mengalir.

"Dia jahat Wal! Mama dipenjara karena dia!" Wala terdiam mendengar sepatah dua patah kata keluar dari mulutnya, kedua orangtua nya menjadi alasan di tiga hari belakangan ini kejiwaannya terganggu.

"Udah Rin, gue disini. Tante pasti di bebasin ya, jangan nangis lagi oke!" Wala terus mengusap-usap puncak kepalanya, Cakra dan Radit hanya bisa menenangkan Karin sebatasnya saja.

Drrttt... Drrttt...

Wala melepaskan pelukannya, lalu melihat siapa yang membuat getar pada ponselnya. Wala berjalan menjauhi mereka, lalu menempelkan ponsel ditelinganya.

"Ya?"

"Kamu tau, proker itu harus dikumpulin hari ini?!" suara bentakan dari Jevan sangat terdengar jelas, membuat hati Wala rasanya dibanting dengan kerasnya.

"Iya tau," jawabnya seraya tegang.

"Kalau tau terus sekarang kamu dimana?!" gigi Jevan terdengar bergemelutuk.

"Di rumah Karin, dia sakit" bulu kuduknya merinding mendengar kemarahan Jevan.

"Rumah Karin?! Kalau sakit ya dibawa kedokter Wala, kamu kan bukan dokter ngapain kamu kesana? Hah?!" Jevan terdengar sangat gemas dengan Wala.

"Tapi dia kan sahabat aku,"

"Lupain! Kamu kesini sekarang juga, atau aku yang jemput Karin untuk dibawa kedokter biar kamu gak usah repot-repot lagi ngurusin dia!!!" sargah Jevan dengan penuh emosi.

"Tapi aku gak repot Van," bantah Wala, namun sambungannya diputus secara sepihak.

Wala dilema saat seperti ini, dia tak akan membiarkan Jevan membawa Karin kedokter. Karena dia tahu itu hanya akan membuat kejiwaan Karin semakin memburuk.

"Cak, aku mau ngomong sebentar" Wala menarik lengan Cakra menjauh.

"Kenapa?" Cakra menunggu jawaban Wala.

"Jevan nyuruh aku ke sekolah untuk urusin class meeting," badannya gemetar hebat, dia malu harus mengatakan ini.

"Apa? Kamu kan ada sekretaris cadangan, kenapa juga harus kamu yang pergi?!" Cakra mengernyit heran, lalu siap memarahi Wala.

"Iya, tapi kan dia butuh tanda tangan aku. Ini cita-citanya, cita-cita kamu juga kan? Jadi panitia dan penyelenggara MMA terbesar kedua di Indonesia" sanggah Wala membela.

Intertwine Of Us [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang