'7 - part d

789 42 2
                                    

Di sini, tanganku sedang bergemulai lembut membersihkan luka di sudut bibir dan pelipis milik Cakra. Karin juga membantuku menyelesaikan tahap finishing yang tadi sempat tertunda, dia terlihat fokus menatap layar laptop sambil jarinya mengetik beberapa kalimat.

Cakra terus meringis kesakitan, aku tahu itu dari matanya yang berair. Namun aku juga tahu bahwa ia tak akan rela jika air mata itu lolos begitu saja, aku tahu ini bukan kali pertama dia diperlakukan seperti ini.

Cakra bersandar di kepala ranjang UKS sambil terus menahan sakit dan perih di wajahnya, wajah manis dan tampan miliknya. Bisikan ghaib kembali berbisik di telinga kiriku, aku sudah mulai gila. Aku melamun begitu saja melihat wajahnya dengan tatapan kosongku.

"Wal," lagi-lagi Karin mengagetkanku. Aku memalingkan wajah ke sembarang arah, untuk satu tujuan yaitu menghindari blushing.

Sepertinya sudah tak ada lagi luka yang harus ku bersihkan, aku memeras handuk yang difungsikan untuk mengompres luka lalu menyimpannya di rak.

Kemudian aku duduk disamping Karin dan berseberangan dengan Cakra yang tengah terbaring. Aku benci ini, bila diperhatikan lebih dalam lagi, Cakra berbeda dengan orang-orang tunawicara lainnya. Wajahnya tidak terlihat seperti orang yang berkebutuhan khusus, tubuhnya pun tak menunjukkan tanda-tanda itu juga.

Aku suka tatapan itu, tatapan yang seakan meluluhkan hati yang keras ini. Senyuman itu, mampu mengiang-ngiang di dalam kepala ini. Teka-teki apalagi yang lebih rumit dari ini? Kau seakan sebuah petunjuk yang akan mengantarkanku ke gerbang kebagahian yang penuh perjuangan. Dalam relung hati kecil ini, aku berharap petunjukku akan tetap disini sampai kebahagiaan datang menemani.

°°°

"Wah. Masa sih?!" Karin melahap paha ayam yang lezat itu sambil meledekku. Aku tahu ini tidak akan mungkin terjadi, seorang Walananda bisa memasak makanan. Ya, walupun hanya ayam goreng dan itu pun sewaktu menggorengnya kepalaku memakai helm supaya tidak terpercik minyak.

"Atur aja Rin," aku memasukan nasiku dengan malas. Cakra hanya tersenyum melihat kami bertengkar kecil, ia memilih untuk duduk-duduk saja di atas kursi rodanya tanpa takut tergiur dengan makanan buatanku. Anak-anak pun ikutan menertawakan aku.

Sulit bagiku, hari ini waktunya anak-anak pergi menemui kepala panti asuhan, karena sudah kuputuskan untuk membuat hidup mereka lebih bebas tapi terarah. Tetap saja aku akan berusaha menjenguk mereka, ya minimal satu bulan sekali.

Tak terlihat sirat kekecewaan di raut wajah Karin, dia justru terlihat sangat terbuka dan senang dengan kehadiran Cakra. Tapi hati kecil ini berkata lain, atau mungkin hanya sisi negatif pikiranku yang mengatakan begitu.

Tapi mungkin juga karena Karin baru saja menjadi pacar baru dari salah satu sahabatku juga, Daffa. Betul memang, aura yang terpancar dari dalam diri Karin begitu kental terasa. Daffa juga wakil ketua osis yang notaben partner kerjaku saat ini.

Pintu mobil merah itu tertutup, kini hanya tersisa aku dan Karin karena Cakra baru saja pulang. Sekarang, jarum jam menunjukkan pukul 3 sore dan itu artinya kami harus bergegas membeli sejumlah pernak-pernik untuk acara sekolah dua hari lagi. Banyak sekali daftar yang harus kami beli, karena temanya yang tak terlalu sulit memudahkan kami untuk membeli pernak-pernik dan embel yang lainnya.

Ditambah lagi Karin yang mengajakku membooking salon untuk acara nanti agar kami tampil lebih gorgeous, katanya. Kalau aku pikir itu terlalu berlebihan, tapi untuk sesekali sih tidak terlalu buruk.

Aku sudah lega karena kepala panti bisa menjemput anak-anak ke sekolah, sempat tidak enak hati tapi mau bagaimana lagi akupun masih ada banyak urusan.

°°°

Empat jam sudah kami habiskan. Dari mulai membooking salon, memilih baju, membeli pernak-pernik dan segala embel lainnya, lalu memesan dekorasi ruangan, catering, makanan kecil nya, sampai undangannya, berakhir di restoran ini.

Makanan yang kami pesan sudah datang, pak Sopo menunggu kami di dalam mobil. Sudah aku ajak dia untuk makan bersama namun ia lebih memilih mengobrol dengan temannya.

Aroma khas dari kari yang baru saja matang menusuk hidungku, lezat sekali. Kali ini Karin kutantang untuk memakan ikan bakar, karena aku tahu bahwa dia sangat anti dengan yang namanya ikan. Segala macam hal berbau ikan sampai ikan rica-rica yang enaknya menggoyang lidahku pun ia tak suka.

"Wal!" raut wajah Karin berubah masam. Aku semakin ingin tertawa karena geli melihat mimik mukanya.

Pipiku mengembung menahan semua gelak tawaku, perutku terasa sakit karena menahan semua ini. Raut wajahnya kini terlihat berbahagia setelah ikan bakar itu masuk ke kerongkongannya.

"E... Nak!" seru Karin terburu-buru menghabiskan satu porsi ikan bakar ini. Aku hanya bisa tersenyum, lalu memulai aktifitas makan malamku sekarang ini.

"Gak percaya sih!" ledekku memeletkan lidah. Sebelum pulang, aku memesan makanan untuk dirumah karena lagi-lagi sahabat sekaligus sekertarisku ini ingin menginap untuk acara tahunan sekolah.

•••

Published on 25 April 2017

Intertwine Of Us [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang