I'll be there for you
Sang malaikat tengah tertidur nyenyak diatas bangkar dengan beberapa alat bantu yang terpasang, dan potongan hatinya yang lain terpisahkan oleh kaca besar yang menghalangi.
Tak henti-henti air mata itu dititihkan dan tembok itu dipukul-pukul hingga mencetak luka perih disana, dia gagal, dia kecewa, dia marah tanpa tahu pada siapa?
Adakah insan yang biasa saja pada sesuatu yang dianggapnya sebagai intannya? Bagi Cakra Wala adalah berlian berharga yang sangat langka untuk dimiliki, dan banyak orang yang tak mengetahui tentang itu.
Semua yang ada disini bisa apa selain menitipkan doa sebanyak-banyaknya? Semua juga ingin yang terbaik bagi siapapun, mereka sangat hafal bila melihat Cakra yang begitu terpukulnya.
Satu-persatu mereka pergi dan sekarang tersisa Cakra yang duduk dengan pikiran tak jernih di kurai tunggu.
"Anda keluarganya?" seorang pria paruh baya keluar dengan jas putih kehormatannya.
Cakra masuk setelah dokter mengatakan beberapa penjelasan. Disini sangat tenang, tak ada lagi jerit dan tangis seperti tadi, wajahnya berseri-seri.
Cakra melangkah menuju bagian bangkar yang lainnya, berusaha mengamati keadaan malaikatnya sekarang ini.
"Wal," tangan itu begitu lembut ketika disentuh, hangat dan nyaman.
Semua memorinya teringat kejadian selama tiga bulan belakangan ini, kejadian dimana malaikat harus berada disisi orang yang paling dibencinya, disaat pikirannya selalu kacau karenanya, disaat dia bukan lagi menjadi alasan senyuman itu, dan disaat dia menjadi alasan air mata itu lolos dipipinya.
Mata indah itu mengerjap beberapa kali, ada sedikit pergerakan di jari-jemarinya dan disaat bersamaan kilatan cahaya seperti kembali menyinari.
Satu titik fokus saat mata itu membuka, yakni Cakra. "Cak," lirihnya dengan bibir pucat yang digerakkan.
"Ya," suaranya mendengung akibat tangis bahagia yang pecah.
"Maafin aku," kini mata indah itu ikut berair.
Dari cara mereka saling menatap ada teka-teki yang telah terungkap, mereka tak lagi mau menyembunyikannya.
Cakra menggeleng-geleng seraya menangis lagi. "Kamu gak salah," Cakra menempelkan tangan Wala diwajahnya.
"Wal," dia menoleh pada empunya suara.
"Apa yang harus aku lakukan pada perasaan ini? Tanganku gak lagi mampu menutup mulut yang selalu ingin bicara, sekarang siapa yang berhak disalahkan?" dia mulai terisak sambil memegang tangan Wala dan menatapnya.
Tangan Wala terulur memegang pipinya, sentuhan yang dirindukannya.
"Gak perlu menyalahkan perasaan, karena hati tau dia tumbuh karena terbiasa." mata indahnya menatap Cakra dengan tatapan yang sama dengan yang Cakra lempar.
"Kamu terbiasa denganku, semua cerita tentang kita telah menebar benih-benih perasaan itu. Tapi kita belum sempat untuk menumbuhkannya hingga sempurna, maka sekarang kita belum bisa memetik hasilnya." suara itu pun kian mendengung.
"Kalau kamu tanya tentang perasaan aku ke kamu, aku gak bisa jelasin." Cakra masih tak ingin berkata-kata, dia lebih memilih mendengarkan Wala.
Tangannya masih mengelus-elus pipi dan turun hingga ke rahang Cakra.
"Karena terlalu rumit untuk menjelaskan perasaan yang kian tumbuh menjalar itu Cak," sambungnya menitihkan air mata lagi, Cakra berusaha menenangkannya dengan genggaman hangat.
"Kamu tau gimana rasanya ketika terpuruk dan sendiri itu menjadi teman dan pendorong aku untuk sembuh?" ucapnya dengan nada putus asa.
"Setiap hari aku selalu bangun lebih awal buat mastiin kamu ada disamping aku, tapi kamu gak kunjung datang sampai akhirnya diagnosa ketiga itu menyatakan bahwa umur aku udah gak lama lagi." mata Cakra memejam berusaha menahan air yang selalu lolos.
"Yang aku rasain saat itu adalah kerapuhan yang merajalela dimana-mana, aku bahkan lebih rapuh dibanding lapisang air yang beku, dan disaat itulah aku butuh kamu Cak tapi kamu gak ada?!" ucapnya dengan tangisan semakin pecah, Cakra menangkupnya kedalam pelukan.
"Aku sayang kamu, aku akan menikmati masa-masa disamping kamu dengan berapapun sisa hidup kamu" ucapnya membisikan tepat ditelinga Wala.
"Berjanjilah untuk selalu ada disisiku, karena setelah perasaan yang aku limpahkan ke kamu. Gak akan ada seorangpun yang mampu merasakannya lagi" balasnya mengecup kening Cakra.
"Satu-satunya bahagiaku hanya kamu Wal,"
"Dan satu-satunya alasan aku tetap bertahan adalah kamu Cak," Wala menggenggam erat tangan Cakra seraya menitihkan air mata, namun kebahagian menjadi alasannya untuk kali ini.
"Janji," Cakra menyodorkan kelingking.
Wala mengaitkan kelingkingnya diantara kelingking Cakra, "mengucap suatu janji itu adalah hal yang gampang, tapi menepatinya adalah hal yang menantang" ucapnya seraya tersenyum.
"Aku gak akan biarin kekecawaan membuat air mata kamu jatuh lagi," Cakra mencium punggung tangannya penuh kebahagiaan.
"Sewaktu kita ketemu pertama kali di rooftop, kenapa kamu ninggalin aku?" tanyanya dengan tersedu-sedu.
Cakra menatapnya penuh arti. "Aku pergi karena aku gak mau jadi alasan air mata dipipi kamu lagi," ucapnya mengelus-elus lembut pipi Wala.
•TAMAT•
Published on 12 June 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Intertwine Of Us [COMPLETED]
Romansa[Revisi setelah extra chapter] Awalnya dia adalah temanku, teman terbaikku. Tapi setelah status kami sebagai teman, kini dekat menjadi sahabat. Lalu kini status sahabat itu mengantarkanku pada perasaan yang sesungguhnya, aku memungkiri hal itu. Seti...