'15

563 38 0
                                    

Selalu saja dimulai dengan hari Senin yang entah kenapa ini tidak adil bagiku, hari Senin menuju hari Minggu melewati 6 hari dan sedangkan hari Minggu menuju hari Senin hanya butuh satu hari.

Sesuatu yang berwarna merah pekat sepertinya mengucur dari dalam lubang hidungku dan ini sudah rutin ada disetiap pagiku, aku buru-buru bangun dan mengambil tisu diatas meja lalu mengelap hidungku.

Jam di dinding menunjukan pukul enam lewat sepuluh menit aku langsung bergegas menuju kamar mandi untuk ritual pagi.

"Wala kamu tumben udah siap jam segini?" aku menuruni anak tangga, dari bawah bunda menyapaku sambil mengolesi selai diatas roti itu.

Aku diam, sungguh malas meladeni sapaan bunda di pagi yang menjadi moodboosterku ini. Mataku melirik jam yang melingkar di tangan kiriku menunjukkan pukul enam lewat tigapuluh lima dan itu berarti masih ada waktu cukup untuk sampai disekolah dengan berjalan kaki.

"Pa, Aku berangkat dulu!" aku menyalimi mereka lalu bergegas pergi tanpa ada lagi pertanyaan.

Tadinya sebelum aku berangkat pak Sopo menawarkan aku untuk diantar oleh nya, namun di pagi ini aku sedang ingin menikmati suasana berjalan kaki.

Sudah lama juga aku tidak berolahraga, mungkin semenjak diagnosa itu aku sedikit tak ada nafsu untuk melakukan aktivitas apapun.

Cahaya, sebut saja si bulat oranye menemani langkah dipagi yang dingin ini. Sempat ada niatan untuk mengakhiri kehidupan di dunia karena mendengar kata "fana" dan itu berarti kapanpun dan dimanapun aku bisa saja pergi, tapi beberapa kali niatan itu selalu mundur dan berakhir senyuman lagi.

Alasanku masih ada didunia adalah sahabatku, walaupun aku lahir dari rahim seorang ibu tapi kasih sayang bunda tetap kalah dengan sahabatku. Entah kenapa semua orang bilang kalau setiap orang tua pasti sayang dengan anaknya? Namun perkataan itu bisa kupatahkan.

Ada juga yang bilang kalau kasih sayang itu punya caranya masing-masing. Tapi aku heran, apa cara yang bunda lakukan buat tunjukin kasih sayangnya ke aku?

Aku gak yakin dengan itu.

Yang aku harapkan setiap harinya adalah sahabatku ini, Karin. Keinginanku maunya dia tinggal menetap dirumah, tapi aku sadar dan gak akan memaksakan kehendakku karena aku tahu dia punya keluarga yang juga buat dia bahagia. Tidak seperti aku.

Mungkin papa Benny adalah orang yang mengukir senyum di bibirku kala di rumah, ya walaupun aku sangat merindukan sosok papa Donny seperti dulu.

"Wei! Bengong mulu, kesambet ntar lo" aku menengok kearah kantin yang kosong-melompong, waktu yang pas untuk mengisi perut karena tadi belum sempat sarapan.

"Kantin yuk!" aku menarik tangan Karin menuju tempat favorit kami di kantin.

Aku mengaduk-aduk es teh manisku sebelum menyeruputnya. "Cakra kemana sih Wal?"

Aku mengedikkan bahu kemudian es teh ini meluncur ke tenggorokanku. "Ke kelas kali, kenapa emangnya?"

Karin menoleh ke segala arah, mungkin untuk memastikan kehadiran Cakra. "Gak apa-apa, biasanya kalian berdua terus?"

"Darimananya berdua?!" Karin tersenyum devil, senyum yang kunanti-nantikan sejak dulu.

"Dari matamu, matamu ku mulai jatuh cinta..." Karin tertawa aku mencubit hidung mancungnya, yang kumaksud hidung yang mancung kedalam ya.

Belum sempat aku melupakan soal penyakit ini Karin malah membuatku menyunggingkan senyum lagi, aku capek Rin!.

°°°

Intertwine Of Us [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang