"Kau memang sahabatku, kau memang teman baikku. Dan aku, jatuh cinta padamu"- aku sahabatmu yang mencintaimu
"Kamu janji kan Cak?" kata itu terus mengiang dalam kepala ini, sang malaikat baru saja turun dari taxi ini dan dia tak mau kuantar lantaran katanya takut bundanya curiga.
Dia melihatku sebelum benar-benar masuk, aku bisa melihat senyum sang malaikat dari balik kaca. Aku sangat sedih mendengar semua cerita itu, apalagi jika Karin tahu pasti dia juga ikut sedih namun aku yakin dia akan lebih sedih bila dia sama sekali tidak tahu soal ini.
Awalnya aku berniat memberi kabar ini pada Karin, namun aku juga tak ingin melanggar janjiku dengan Wala. Tapi Karin berhak tahu, aku tetap tidak bisa melanggarnya mungkin saja esok Wala akan menceritakan semua.
Blug...
Aku berjalan masuk lewat pekarangan, dan note pemberian Wala masih ada pada genggamanku. Aku menekan bel beberapa kali, lalu kak Melan keluar dengan wajah tak mengenakkan.
"Dari mana aja kamu?!" matanya menatapku tajam, aku berusaha mengelak menuliskan sesuatu diatas kertas note ku.
"Masuk!" kak Melan terlihat marah padaku, aku sungguh tak ingin berdebat sekarang ini. Kaki ini lelah dan malah membawaku ke kamar, aku langsung menjatuhkan tubuh ke atas ranjangku, padahal perutku sudah lapar sekali.
Drrrt... Drrrt...
Drrrt... Drrrt...
Ponsel di saku celanaku bergetar, entah siapa yang meneleponku paling-paling hanya Radit. Lagipula aku tidak bisa bicara, dan aku tidak pernah punya teman selama aku tidak bisa berbicara.
Aku menggeser layarku ke arah menu berwarna hijau. "Hallo Cakra?!" ternyata ini adalah suara seseorang yang baru saja memenuhi isi kepalaku, Walananda. Aku langsung bangkit dari posisiku menjadi duduk.
"Aku tahu kamu disana, besok malam jemput aku jam tujuh ya. Aku mau istirahat dulu, bye!" sambungannya terputus, lagi-lagi sepertinya aku mengigau tapi cubitan barusan terasa sakit itu berarti aku sedang tidak bermimpi.
Wala pasti bercanda, bagaimana bisa dia pergi dengan keadaan seperti sekarang?
Aku menggeser kembali layar ponsel, lalu mengetik sebuah pesan untuknya. Tiga menit kemudian, dia meneleponku lagi.
"Aku harus kelihatan kuat dimata semua orang, cuma karena penyakit ini aku harus kehilangan setiap momen? Aku gak bakal ngebiarin suatu hal merenggut detik-detik dihidupku, dan selama aku masih bernafas aktifitasku akan berjalan seperti biasa." setiap kata yang terucap dari mulutnya, aku bisa merasa kalau dia berusaha menguatkan diri sendiri dan berusaha terlihat baik-baik saja di depan khalayak ramai.
"Kalaupun kamu gak jemput aku, aku akan tetap pergi tanpa bisa kamu larang!" sambungan teleponnya terputus, Wala terdengar keras kepala dan kukuh atas apa yang ia inginkan. Tapi satu hal yang aku takutkan, penyakitnya akan lebih parah lagi bila dia tetap bersikeras.
Aku mengacak rambut frustasi, lalu menjatuhkan tubuhku ke atas kasur dan melempar ponselku ke sembarang arah.
°°°
Aku bersandar di kepala ranjang masih dengan isi kepala yang sama, dan perasaan bimbang yang begitu menyulitkanku.
Sejak kemarin malam hingga kini jam yang berada di atas nakas menunjuk pukul lima sore aku masih belum memutuskan, aku bingung.
Ya tuhan mengapa kau hadapkanku pada dua pilihan yang sulit. Pergi atau tidaknya aku takkan pernah mengubah keputusannya, aku memang bukan orang yang memberi kontribusi lebih di kehidupannya.
Jika aku tidak pergi, maka aku akan dihantui rasa khawatir bila sesuatu terjadi padanya. Dan bila aku pergi, aku takkan sanggup melihatnya pura-pura tegar.
Aku harus apa sekarang? Mungkin pilihan yang kedua bisa kupikirkan lagi, setidaknya bila aku berada disisinya aku tahu apa yang harus kulakukan dan bila sesuatu terjadi dengannya aku adalah orang pertama yang akan menolongnya.
Dua jam lagi aku harus menjemputnya, aku fikir setelah perkataanku kemarin dia rasa aku takkan menjemputnya. Jadi, sebelum dia pergi aku harus menjemputnya lebih awal untuk menghindari hal yang tidak aku inginkan.
Aku bergegas menuju kamar mandi untuk melakukan ritual, butuh waktu tigapuluh menit untuk menyelesaikan ini dan kini sudah selesai. Aku berjalan menuju lemari dengan balutan handuk yang menutupi setengah badanku, lalu mulai memilih setelan jas yang cocok.
"Cakra!" panggil seseorang dari balik pintu, kuras itu kak Melan dengan suara cemperngnya.
Aku membuka pintu untuknya, benar saja si cerewet datang. "Jadi pergi nih?!" dia bertanya, tapi seperti ada nada menyindir.
Aku hanya membalasnya dengan anggukan, kemudian menyuruhnya pergi karena aku ingin berganti pakaian.
Si lingkaran berangka yang melingkar manis ditanganku menunjukan puku setengah tujuh, aku bergegas menuju garasi untuk memanaskan mobil.
"Gak makan dulu?!" bunda menahanku dengan pertanyaannya, dia dan kak Melan sedang duduk di meja makan menikmati menu makan malam.
Aku hanya menggeleng-geleng lalu kembali bergegas menuju garasi, lalu langsung menancapkan gas menuju rumah Wala. Awalnya aku tidak tahu menahu tentang alamatnya, tapi kemarin Karin memberiku alamatnya.
Aku ingat bahwa Karin belum tahu tentang kondisi Wala sebenarnya, dia berhak tahu tapi di lain sisi aku tak ingin membuat Wala kecewa. Perasaanku semakin perih bila melihat dan mendengarnya pura-pura tegar, aku sangat beruntung menjadi orang pertama yang tahu tentang dirinya dan bahkan kedua orang tuanya sekali pun.
•••
Published on 13 Mei 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Intertwine Of Us [COMPLETED]
Romance[Revisi setelah extra chapter] Awalnya dia adalah temanku, teman terbaikku. Tapi setelah status kami sebagai teman, kini dekat menjadi sahabat. Lalu kini status sahabat itu mengantarkanku pada perasaan yang sesungguhnya, aku memungkiri hal itu. Seti...