Walaupun jejak tak kau tinggali, tapi hati tau kemana ia harus pergi.
Sinar mentari pagi datang menyinari langkah kaki, hari ini hari kelulusan bagi kelas duabelas, dan hari dimana pembagian rapor kenaikan untuk kelas sebelas.
Hari ini jiwa yang baru telah lahir dan jiwa yang lama sudah terkubur dalam-dalam. Wajah mereka berseri-seri, mereka masih dalam jumlah yang sama, namun sesuatu tak lagi sempurna karena sebuah kepergian.
Sampai kapan hati Cakra terus diselimuti rasa rindu? Rindu pada sentuhan dan dekapan sang malaikat disinya, walaupun sekarang ada Sharon yang perlahan-lahan mencoba menjadi penggantinya, namun itu tak lagi sama.
Hanya dia.
Walaupun pelukan dan sentuhan yang baru memberikan kenyamanan dihati Cakra, tetap saja kembali ke negeri sendiri jauh lebih nyaman ketimbang di negeri orang.
Cakra tidak ingin menjadi laki-laki pengecut yang hanya bisa mempermainkan hati semua perempuan, setiap kali Sharon memberikan respons lebih padanya, ia mencoba untuk menolak dengan cara halus.
Dia juga tak mau memungkiri bahwa belum bisa melupakan sosok pelabuhannya itu, dia tahu pelabuhannya, tapi pelabuhan itu lenyap dan hilang tanpa ada jejak.
"Cakra Avior," medali emas nan berkilau tepat melingkar dilehernya, senyuman merekah ia tampakkan kala semua bersorak-sorai menyahuti kemenangannya.
Ini terasa begitu sulit, berdiri dalam sebuah kemenangan tanpa ada alasan mengapa dia dalam lingkaran kemenangan ini.
Dia tersenyum, senyuman yang merekah. Tapi siapa yang tahu kalau hatinya begitu kosong, tidak ada kemenangan disana.
Senyumnya, raganya, sentuhannya, semua tentangnya. Dia rindu.
"Brother gue jadi juara!" Radit memeluk erat Cakra, dia hanya menyunggingkan cengiran yang entah apa tujuannya.
"Selamat ya sayang, aku bangga sama kamu" Sharon memeluk Cakra dengan lembut, Cakra seperti terbang mengudara, dia tidak tahu apa maksud perasaannya ini?
Cakra kembali ke dunia nyata, pelukan tadi membuat kakinya gemetar tak kuat. Padahal sudah beberapa kali Sharon memeluknya dan menggenggam tangannya tapi tadi terasa berbeda, itu lebih terasa menyakitkan baginya.
"Congrats ya Cak, gue salut sama lo seandainya Wala ada disini dia pasti seneng" Karin menjabat tangan Cakra, bersama senyuman manis dari jiwa yang terlahir kembali.
Cukup untuk hari ini Cakra digerumuti sahabat-sahabatnya, dia butuh sendiri, dia tahu tempat dimana rindunya bisa sedikit terobati.
"Gue mau langsung pamit ya" Sharon pamit pulang bersama orangtuanya, dan mereka berpisah Radit dan Karin, ya kalian tahu lah paling mereka jalan bersama.
Disini, tempat dimana semua kenangan itu kembali ditayangkan dalam memori otak. Angin ini selalu jadi teman di sela-sela segala curhatan yang dilimpahkan, menatap pemandangan ini selalu jadi rutinitas setiap kali berkunjung.
"Kamu tau Wal, gimana rasanya aku sekarang?! Aku kangen sama kamu Wal! Kamu dimana?!" teriak Cakra lebih kepada dirinya sendiri, ada bayang suara yang jadi pengisi setelahnya.
"Aku disini," suara itu, langkah itu, dia kembali. Setelah apa yang dia tinggalkan kini dia kembali hadir? Senyum itu, wajah itu, dan mata itu adalah alasan kenapa hati Cakra jauh dari kata move on.
"Wal?!" mata Cakra berbinar cerah persis seperti saat mendapat penghargaan tadi. Dia langsung menariknya kedalam pelukan yang amat erat, dia enggan melepaskan sampai rasa rindu itu sirna.
"Wal, kamu kemana aja sih? Apa kamu lupa sama janji kita?" Wala terdiam, didetik selanjutnya dia melepaskan pelukan secara sarkas. Cakra menatapnya bertanya-tanya.
"Janji? Tolong jelasin ke aku arti janji bagi seorang yang ingkar!" alisnya menyatu, hatinya terlalu lemah dengan kesakitan yang semakin menjadi-jadi.
"Maksud kamu?" Wala menatapnya penuh kekesalan dan kekecewaan, air mata menggenang dipelupuk.
"Kamu tanya maksud aku?!!!" bentaknya seraya menunjuk dada bidang milik Cakra.
"Dimana kamu saat aku terpuruk dan sendiri?" air mata itu lolos jatuh tak berkutik.
"Dimana kamu saat sakit menyerangku bertubi-tubi? Dan dimana kamu saat gak ada seorangpun yang tau akan penyakitku, padahal kamu tau itu?!!!" dia berkali-kali menyampaikan kekecewaannya dengan menunjuk-nunjuk dada bidang Cakra dengan jari yang mengepal sekarang.
"Kamu tahu itu!!!" bentaknya seraya memukul-mukul Cakra, jeritan dan tangisnya sudah tak mampu terbendung lagi. Semua luapan emosi yang terpendam dikelurkan lewat air mata yang jatuh tanpa berbicara, jeritan itu seolah-olah menjadi sarana baginya meluapkan kebenciannya pada Cakra.
Wala menangis dalam dekapan Cakra, namun dia hanya bisa menyaksikan semua keluh kesah yang dilontarkannya. "Kamu biarin sakit itu terus larut! Kamu biarin kesendirian itu terus menggerogoti setengah jiwa yang tersisa?! Kamu jahat Cak!!!" dada yang terasa sakit karena pukulan itu tak lagi terasa ketika tangis itu kian pecah, sang malaikat menangis karenanya?
"Disaat gak ada seorangpun yang mampu aku jadikan pegangan kecuali kamu, kamu dimana?! Janjii kamu bohong Cak! Kamu lebih milih Sharon daripada sahabat kamu sendiri!" Wala terus melampiaskan amarahnya pada pukulan, Cakra menghentikan tangannya.
"Cukup Wal! Kalau emang aku alasan kenapa air mata itu lolos, aku pergi Wal! Dan aku pastikan gak akan maafin diri aku sendiri sampai rasa sakit kamu terobati" Cakra pergi, meninggalkan sejuta tangisan yang kian pecah.
°°°
Dagunya ditempelkan pada kaki yang ditekukkan dengan tangan yang memeluk kaki, raganya disini namun jiwanya melayang dan pergi entah kemana.
Jiwa itu seakan kehilangan tempat tujuan, bingung harus berlabuh pada siapa dan berpegangan pada apa lagi?
Hidung dan tenggorokan itu kian sakit menahan air mata yang semakin menggenang, dia satu-satunya wanita yang mampu membuat dirinya terbang mengudara kemudian jatuh terbanting hingga kini semua remuk, tak ada lagi yang bisa diharapkan.
Dia mengacak-ngacak rambutnya frustasi, dia bangkit lalu melampiaskan kekesalannya pada semua barang dikamarnya, menimbulkan suara pecahan yang nyaring terdengar.
Dia berteriak kesakitan dan tangisan semakin menyakitkan, sakit kesendirian itu jauh lebih buruk daripada sakit-sakit yang pernah dirasakannya.
Dia berteriak lagi dengan tangisan yang kian pecah, dadanya seperti dihempaskan ke tanah lalu dibanting hingga remuk tak bersisa.
"Kalau tau sejak awal rasa sakit yang akan kupetik nantinya, aku akan berhenti mencintaimu sejak dulu, meskipun aku tau itu sulit."
•••
Published on 12 June 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Intertwine Of Us [COMPLETED]
Romance[Revisi setelah extra chapter] Awalnya dia adalah temanku, teman terbaikku. Tapi setelah status kami sebagai teman, kini dekat menjadi sahabat. Lalu kini status sahabat itu mengantarkanku pada perasaan yang sesungguhnya, aku memungkiri hal itu. Seti...