Drrttt... Drrttt...
Ranjangku seperti bergetar, mataku mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina. Aku menggeliat, rasanya seluruh ruas tulang belakangku berbunyi.
Sepagi ini aku sudah merasa lapar, hari ini aku tidak sedang berpuasa lantaran sedang datang bulan. Aku turun ke bawah untuk memeriksa makanan di dapur, hanya ada beberapa lembar roti disini.
Aku mengoleskan selai diatas roti kemudian mulai melahapnya, kedua orangtuaku kemana? Mungkinkah mereka masih bersama? I wish.
"Non sudah bangun rupanya?" aku tersenyum kala mbak Neni menyapa pagiku, dia berjalan menuju bak cuci piring.
"Si non gak puasa?!" aku menoleh, kemudian menggeleng-gelengkan kepala lalu bangkit menuju ruang TV.
Semua chanel menayangkan berita gosip yang aneh-aneh, aku malas menonton sekarang. Aku kembali menuju kamar untuk melanjutkan tidurku, dipagi yang dingin ini apa yang bisa kulakukan selain menarik selimut tinggi-tinggi?
Aku menghempas kan tubuhku ke atas ranjang, menimbulkan getaran. Saat sedang datang bulan seperti ini aku jadi malas melakukan aktifitas apapun, ditambah udara yang dingin dan hari libur sekolah seperti ini.
Aku tidur terlentang menatap langit-langit, lalu ponselku di atas nakas bergetar. Aku meraihnya kemudian melihat siapakah yang meneleponku di hari libur.
"Jevan?" untuk apa sepagi ini meneleponku?
"Ha.."
"Gue di depan rumah lo!" well, mau apa dia kesini? Aku langsung bangkit dari tidurku lalu melihat keluar jendela, benar memang dia sudah ada di depan rumah.
"Bentar gue turun," aku langsung bergegas turun menemuinya, untuk mencari tahu apa maksud kedatangannya.
Aku membukakan pintu pagar untuknya, dia masuk lalu memarkirkan motornya dipekarangan. Aku mempersilahkannya untuk masuk, lalu dia mengekoriku.
"Kenapa?" dia memperlihatkan tatapan tajamnya, aku meneguk salivaku melihat tampang seramnya itu. Sejak awal kami dalam satu tim kerja dulu, aku juga sudah mengetahui sifatnya bagaimana dan mungkin sifatnya itulah yang menumbuhkan perasaan kagum di hatiku.
"Lupa?!" tanyanya masih dengan tatapan tajamnya itu, sepertinya dia sedang sakit gigi lantaran sedari tadi senyum tidak sedikitpun dia sunggingkan.
Aku diam mencerna apa maksudnya, terakhir kali kami bertemu kemarin di rooftop dia tidak mengatakan apapun.
Astaga! Aku ingat sesuatu, aku kira omongan dia soal mewujudkan mimpiku itu cuma main-main tapi ternyata dia sungguh-sungguh.
"Oh iya maaf gue siap-siap dulu" aku langsung bangkit dan lari menuju kamar, takut bila nanti dia semakin marah denganku.
Aku membuka pintu lemariku, mengeluarkan semua bajuku. Aku bingung mau menggunakan apa? Mungkin bajo kodok kesayanganku lebih cocok. Aku langsung menuju kamar mandi untuk ritual pagi.
Sudah duapuluh lebih satu menit dia menungguku di bawah dan aku harap dia masih disana, pasalnya aku sangat tahu bila dia tidak suka menunggu lama.
Benar saja dia sudah tidak ada disana, sepertinya dia marah karena aku lupa. Tapi motornya masih ada di halaman, berarti dia belum benar-benar pergi dari sini. Aku berjalan menuju taman samping dekat kolam renang, dan menemukan dia tengah berdiri sampir memandang air kolam.
"Udah?!" padahal aku belum memanggilnya, dan posisinya masih membelakangiku. Dia berbalik, kemudian berjalan ke arahku.
Aku terpaku diam ditempat, tangannya terulur membetulkan rambutku. Aku tidak berani menatap matanya, sepertinya jantungku mempompa lebih cepat dari biasanya, aku ingin menjerit saja sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Intertwine Of Us [COMPLETED]
Romance[Revisi setelah extra chapter] Awalnya dia adalah temanku, teman terbaikku. Tapi setelah status kami sebagai teman, kini dekat menjadi sahabat. Lalu kini status sahabat itu mengantarkanku pada perasaan yang sesungguhnya, aku memungkiri hal itu. Seti...