6. Luka yang tak pernah sembuh

13.6K 1K 148
                                    

Lion berusaha bangkit dari tempat tidur saat sinar mentari mulai menjilat bagian timur kota Jakarta. Tak seperti matahari pagi yang menawarkan awal baru, lelaki itu justru masih terperangkap dalam tubuh yang enggan diajak untuk bergerak.

Dengan semua tenaga yang nyaris dikerahkan, Lion berhasil bersandar pada kepala kasur. Ia memejamkan mata merasakan pusing yang sejak semalam tak hilang-hilang. Lion menghela udara sekitar yang tampak menipis untuk sedikit saja mengisi paru.

Lelaki itu menoleh ke kiri yang langsung disambut oleh cermin besar yang menempel di lemari. Mata Lion sedikit menyipit memperhatikan kulitnya yang tampak menguning. Lion pikir penglihatannya sedikit bermasalah akibat denyutan di kepala. Namun, saat Lion menatap kulit lengannya sendiri secara langsung tanpa perantara, ia benar-benar yakin kalau penglihatannya tak bermasalah, akan tetap kulitnya memang sedikit menguning.

Dengan sisa tenaganya Lion turun dari kasur dan melangkah gontai menuju kamar mandi. Di cermin depan wastafel Lion memperhatikan pantulan dirinya.

Rambut yang berantakan, mata yang sedikit menguning dan tak sejernih biasanya, bibir yang kering dan pucat, kulit yang tampak berwarna senada dengan mata.

Lion mengembuskan napas berat, kedua tangannya ia letakkan di sisi wastafel untuk membantunya menopang tubuh. Entah apa yang terjadi dengan tubuhnya, yang jelas Lion sadar, ada yang salah.

Tangan kanannya lantas ia gerakkan untuk memutar keran kemudian membasuh wajahnya dengan air yang mengucur dari pancuran. Kemudian Lion menyikat gigi sebelum akhirnya ke luar dari kamar mandi.

Lion duduk sejenak di sisi kasur untuk meredakan rasa pusing yang kian merajalela, selain itu tubuhnya juga terasa semakin lemas. Ia menghela napas berkali-kali, berupaya mencari sedikit tenaga lagi sebelum bangkit dan mengais isi lemarinya. Lion mengambil sepasang seragam pramuka untuk mengganti kaos oblong yang entah sejak kapan ia gunakan, karena seingatnya, baju yang terakhir kali ia pakai sebelum pingsan adalah seragam putih abu-abu.

Setelah selesai, Lion menutupi kembali tubuhnya dengan sebuah jaket berwarna abu-abu gelap. Tanpa menyisir rambut ia menaikkan tudung jaket, mengambil ransel, kunci motor sebelum melangkah ke luar.

Di tangga Lion berpapasan dengan Lintang yang berjalan naik menuju kamarnya, lelaki itu juga sudah siap menuju sekolah dengan seragam lengkap. Lion melengos tak ingin bertatap muka dengan kakaknya itu, ia tak sadar bahwa sedaritadi Lintang terus memperhatikannya.

"Lion!"

Lion berhenti tepat di anak tangga terakhir setelah sekian lama ia tak mendengar Lintang menyerukan namanya sejelas itu. Lion dapat mendengar derap langkah Lintang yang mendekat.

Lintang berdiri tepat di samping Lion. "Papa bilang lo belum boleh sekolah hari ini."

Lion tersenyum sinis menanggapi ucapan datar dari sang kakak, ia mempererat pegangannya pada pembatas tangga, berupaya menegakkan tubuh. "Gue nggak perlu persetujuan bokap lo."

Desis runcing itu menjadi jawaban yang terlontar dari bibir Lion sebelum lelaki itu melanjutkan langkah.

"Apa salahnya lo diem di rumah untuk hari ini? Turuti papa sekali, jangan membangkang terus."

Namun, Lion tak sedikitpun mengindahkan ucapan Lintang.

Lintang kesal, namun ia tak bisa mengabaikan Lion begitu saja, terlebih dengan kondisi anak itu sekarang, bahkan untuk berjalan pun ia tampak tak berdaya. Ia lantas melangkah dan menahan bahu Lion kendati anak itu langsung menepisnya.

Lion menatap Lintang tajam sebelum kembali menggerakkan tungkainya. Namun, baru beberapa langkah ia sudah kembali terhuyung, Lintang sudah akan menangkap tubuh Lion saat Moza datang dan melakukannya.

RaLion Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang