8. Debaran Aneh

11.5K 906 79
                                    

"Ck, kamu ini, ya, seneng banget buat masalah."

Lion tersenyum miris sambil mengelus telinganya yang terasa panas akibat jeweran Lala. Beruntung Hendra tidak bisa datang memenuhi panggilan Bu Anna, pria setengah baya itu ada meeting penting yang tidak bisa ia tinggal.

"Bukan seneng, Kak, tapi masalahnya aja yang datang nggak henti-henti."

Lala menggeleng tak habis pikir dengan adiknya yang satu ini.

"Terus ini luka kamu gimana? Beneran nggak mau pulang sama Kakak? Sekalian diobatin di rumah."

Lion menggeleng. "Baru aja masuk, Kak, masa mau pulang cepet. Lagian teman-teman Lion juga nggak pada pulang."

"Ya udah, lukanya jangan lupa diobatin, minta dokter UKS-nya buat ngobatin."

Lion mengangkat tangan kanannya membentuk hormat. "Oke, siap Mbak Bos."

Lala tersenyum, lantas menyisir rambut Lion yang sedikit berantakan dengan tangan, walau Lion berusaha menghindar, namun Lala menariknya untuk tunduk. "Kamu itu, nggak bisa, ya, rapi sedikit?"

Lion merotasikan bola matanya, ia lantas merangkul Lala dengan tangan kanan sedang tangan yang satunya digunakan untuk membuka pintu mobil. Perlahan ia mendorong kakaknya untuk masuk. "Kakak hati-hati, ya, pulangnya." Ia lantas menutup pintu mobil.

Lala mendengkus, ia menurunkan kaca mobil untuk melihat adiknya sekali lagi. "Belajar yang rajin," pesannya.

Lion tersenyum simpul sebelum mengangguk.

Lala tak langsung menyalakan mobilnya, ia terdiam dan memandang adiknya sejenak. Dalam senyum itu, Lala tahu banyak luka yang tersimpan di sana, banyak sakit yang coba ditutupinya.

Lala marah saat banyak yang menggunjing adiknya, mereka tak tahu apa yang telah dilewati Lion sampai berakhir seperti sekarang. Semua terlalu menyakitkan untuk dilalui dengan bersikap baik-baik saja.

"Kak, Lion harus balik ke kelas, nih."

Lala langsung ke luar lagi dari dalam mobil dan memeluk adiknya. Mengusap punggung anak itu dan berbisik pelan, "Apa pun yang terjadi, Kakak selalu ada buat Lion."

Lion terdiam, tak juga membalas pelukan itu sampai Lala melepasnya dan kembali masuk ke dalam mobil.

"Daaahh, Sayang." Lala melambaikan tangannya, menatap Lion dengan senyum yang dibiarkan mengembang selebar mungkin, setidaknya Lion harus tahu, masih ada Lala yang akan selalu berusaha membuatnya bahagia.

Setelah kepergian Lala, senyum Lion sepenuhnya menghilang. Kalimat kakaknya itu tidak sedikitpun memberi ketenangan, justru menegaskan bahwa selama ini ia memang sendiri. Tidak ada ruang di dunia ini yang memberinya tempat untuk bahagia. Kehilangan yang ia rasa telah mengubah pandangan lelaki itu sepenuhnya.

Getar dalam saku menyadarkan Lion. Ia menghela napas dalam-dalam sebelum mengambil ponselnya dan menjawab panggilan masuk dari Airo.

"Pak Tano lagi ke luar, buruan masuk sebelum doi balik," sambar Airo ketika panggilan terhubung.

"Hm, gue otw."

Lion kemudian memutuskan panggilan, lantas berbalik dan membawa tungkainya untuk segera ke kelas. Selasar pada jam pelajaran kedua seperti ini sangat sepi hingga ia dapat mendengar derap langkahnya sendiri.

Saat hendak berbelok menuju tangga, tak sengaja pandangan Lion menangkap sosok Aira yang baru saja ke luar dari ruang guru. Lion langsung bersembunyi di balik tembok, menunggu gadis itu melewatinya.

Pada saat melangkah menuju tangga, Aira sama sekali tidak melihat Lion, fokusnya teringkus pada ponsel di tangan.

"Hai cantik."

RaLion Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang