37. Painkiller

10.2K 800 69
                                    

Mungkin tak ada yang tahu bagaimana bahagianya seorang Aira saat mendapatkan telepon dari Lintang dan mengabarinya bahwa Lion sudah sadar. Aira yang saat itu tengah berada di kamarnya--lengkap dengan piyama yang sudah membalut tubuh, langsung berlari keluar mencari taxi atau apa pun yang bisa membawanya ke rumah sakit. Bahkan ia lupa akan demam dan rasa pusing yang sempat menyerangnya sejak pulang sekolah tadi siang.

Saat sampai di rumah sakit air mata Aira langsung mengalir--bukan air mata kesedihan atau ketakutan seperti biasanya, melainkan air mata kebahagiaan yang Aira tak bisa bendung lagi kala melihat Lion yang sudah tak lagi terbujur dengan berbagai macam alat yang menempel di tubuhnya.

Sampai satu minggu setelah Lion membuka mata, Aira tak pernah absen datang ke rumah sakit. Pagi-pagi sebelum gadis itu berangkat sekolah, dia menyempatkan diri untuk menjenguk Lion dan memberikan sarapan kepada cowok yang pernah membuatnya hancur itu.

Seperti pagi ini. Tepat di hari minggu yang cerah, Aira melangkah semangat sambil menenteng buket buah menuju kamar rawat inap Lion. Gadis itu sudah tidak sabar untuk bertemu Lion, padahal semalam dia juga bertemu dengan cowok itu.

Langkah Aira yang bersemangat perlahan melambat saat melihat Lala yang duduk di depan kamar rawat Lion dengan air mata yang mengalir deras. Beberapa kali Aira melihat Lala memukul-mukul dadanya seakan menghalau sesak yang menyerang.

Mendadak jantung Aira berdentum semakin cepat. Rasa takut itu hadir, namun otaknya masih berusaha menepis pemikiran buruk yang mulai bermunculan.

Aira melangkah, kini sedikit berlari dan duduk tepat di sebelah Lala. Air mata Aira ikut membendung di pelupuk matanya kala melihat kekacauan yang begitu nyata pada perempuan karier di depannya ini.

Saat menyadari kehadiran Aira, Lala langsung menghapus jejak air matanya dan berusaha untuk mengembangkan senyuman menyambut kehadiran Aira.

"Kak Lala kenapa?" Suara Aira bergetar sarat akan ketakutan.

Lala menggeleng pelan. "Nggak apa-apa. Lion udah nunggu kamu di dalam. Kamu langsung masuk aja."

Aira tahu ada yang tak beres. Kalau memang tak terjadi apa-apa mana mungkin Lala menangis sendirian di sini.

"Ada apa Kak? Apa terjadi sesuatu sama Lion? Kak, tolong kasih tahu Aira."

Air mata Lala kembali mengalir membasahi pipi tirusnya. Hal itu membuat Aira semakin yakin bahwa ini ada hubungannya dengan Lion.

"Kak, please, ada apa? Kasih tahu Aira." Dari getar suaranya, sudah dipastikan sebentar lagi tangis Aira pun akan pecah.

"Sel kanker Lion sudah menyebar ...," ungkapan itu terputus oleh isakannya sendiri. Dada Lala semakin sesak, otaknya kembali memutar penjelasan Kalva semalam.

Hati Aira seketika diremas sakit. Ketakutan yang sempat menerpanya tadi memang benar. Air mata gadis itu langsung mengalir diikuti sesak yang sangat kentara.

"Dokter menyarankan agar melakukan kemoterapi, tapi Lion menolak untuk melakukan itu. Kakak juga nggak tega harus melihat Lion menahan sakit lagi," jelas Lala dengan sisa isakan.

"Kita bisa melakukan transplantasi hati Kak. Kita bisa mencari donor buat Lion."

Lala menggeleng. "Tidak bisa Ra, semuanya akan percuma. Sel kanker sudah menyebar dan perlahan menyerang saraf motorik."

Baru kemarin rasanya Aira diangkat dari jurang kepedihan yang begitu dalam, kini dia harus merasakan curam dan sakitnya jurang itu lagi saat dia dihempas dengan kejam ke dasarnya.

Lala yang juga sama hancurnya dengan Aira, menyentuh bahu bergetar gadis itu untuk menarik perhatiannya. "Jangan pernah nangis di depan Lion, Ra. Sekarang hapus air mata kamu dan masuk temui dia."

RaLion Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang