32. Menggenggam Perih

8.6K 730 51
                                    

Sakit ...
Tolong sampaikan kepadanya. Mengapa dia mengirimmu untuk menemaniku?

Sunyi ...
Tolong sampaikan kepadanya. Mengapa dia membekukanmu bersamaku?

Rindu ...
Tolong sampaikan kepadanya. Mengapa dia menciptakanmu untuk mencekikku?

Bahagia ...
Tolong sampaikan kepadanya. Mengapa dia membawamu pergi dariku?

Mengapa hanya puing-puing dari hatiku yang remuk yang dia tinggalkan? Mengapa dia menggores luka yang begitu dalam hingga membuatku rapuh?

Ya Tuhan ...
Jika dia memang bukan untukku. Lalu mengapa Engkau mengirimnya untuk mengisi hatiku?

Isak tangisnya semakin jelas terdengar. Tangannya yang tadi menoreh tinta hitam di buku diary-nya kini terkulai lemas. Dia tak kuat menahan sesak yang menyiksanya teramat sakit.

Aira memukul dadanya, berharap dengan begitu rasa sesak itu dapat menghilang. Namun percuma, dia tak bisa mengusir sesak yang berteman sakit dan bersarang di uluh hatinya.

"Dulu, lo yang minta gue untuk pergi dan menjauh dari lo. Dan sekarang gue menuhin semua keinginan lo. Anggap aja kita gak pernah saling kenal. Anggap aja gue gak pernah hadir di hidup lo. Dan gue ... gue akan ngelakuin hal yang sama."

Tangis gadis itu semakin membuncah saat bayangan pagi tadi kembali berputar di benaknya. Suara lirih namun menyirat ketegasan itu berdengung di telinga Aira. Membuat rasa sakit itu terasa semakin nyata. Menariknya hingga tak mampu berangan lagi bahwa ini hanya mimpi.

Dari pagi tadi setelah pulang dari taman, Aira tak sedikit pun keluar dari kamarnya, gadis itu mengurung diri hingga malam menjelang. Dia sempat tertidur karena tubuhnya sudah begitu lelah untuk menangis.

Namun, di tengah malam seperti ini gadis itu terbangun. Satu-satunya yang dipikirkan Aira saat membuka mata adalah kejadian di taman itu. Di mana punggung cowok yang kini mengisi hatinya malah berjalan menjauh darinya.

Aira tak tahu harus ke mana dia menumpahkan rasa sakit yang dia rasakan. Sampai tangannya bergerak untuk menggores tinta di permukaan buku diary-nya. Menumpahkan semua sakit yang dia rasa di sana. Sebab dia tahu, dia takkan pernah bisa menumpahkannya kepada orang lain termasuk keluarga dan teman-temannya. Dia tidak pandai bercerita. Maka dari itu alternatif satu-satunya adalah dengan menceritakan semuanya pada sunyi lewat buku serta polpen yang dia pegang.

Aira pikir setelah itu rasa sesaknya dapat berkurang. Namun, sedikit pun rasa itu tak pernah ingin pergi. Justru dia semakin melekat pada tubuhnya yang rapuh. Bayang-bayang Lion semakin jelas berputar dalam benaknya. Senyum cowok itu tak sedikitpun meninggalkan otaknya, namun perkataan pedasnya pun tak tinggal diam.

Aira meringkuk memeluk kakinya. Kondisi tubuh gadis itu sudah tidak bisa dideskripsikan bagaiman bentuknya. Gadis itu terlihat begitu kacau. Aira yang dulunya ceria sudah lenyap tergantikan oleh Aira yang rapuh seperti ini.

Tak ingin semuanya berlanjut hingga benar-benar membunuhnya. Aira perlahan turun dari tempat tidurnya. Dengan sisa tenaga yang dia miliki, gadis itu berjalan gontai menuju kamar mandi. Tangannya bergetar memutar keran shower, hingga air mengucur membasahi tubuhnya.

Aira meluruhkan tubuhnya ke lantai. Merasakan air yang mengalir dari atas kepalanya. Bersama air itu tangisnya juga tersapu, berharap jika rasa perihnya pun bisa terbawa bersama dengan air dan cairan kristal yang selalu mengalir dari kedua bola matanya.

•••••

Tak ada yang paling mengejutkan bagi Kayla dan Githa saat melihat wajah sembab milik Aira. Walaupun gadis itu sudah menutupi wajahnya dengan masker, namun keanehan sikap gadis itu tak luput dari perhatian kedua sahabatnya.

RaLion Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang