Part 34 : Bitter Reality

16.4K 982 29
                                    

MAX menatap kosong butiran-butiran salju yang turun semakin deras lewat jendela kamarnya yang terbuka.

Pemuda itu menghela nafas, tampak seperti asap yang keluar dari hidungnya menandakan cuaca sedang dalam keadaan dingin-dinginnya.
Ia segera mengeratkan jaket tebal yang dikenakannya, kemudian menggosok kedua tangannya untuk meminimalisir rasa dingin yang kian menusuk kulitnya.

"Aku merindukan Ibu..."
Ucap Max nyaris tak terdengar sambil menatap lirih salju-salju di hadapannya.

Pemuda bermata hazel itu kembali mengingat kebersamaannya bersama sang ibu, satu-satunya orang yang mencintainya di dunia ini.

Memikirkan hal itu, membuat setetes air mata meluncur begitu saja dari matanya.

"Ibu ingat? Dulu saat malam natal tiba, ayah dan ibu sering memberiku hadiah dan kita menghias pohon natal bersama,"
Max menyeka air matanya yang kini mulai mengalir tanpa bisa dihentikan.

"Tapi sejak umurku 9 tahun, ayah mulai berhenti memberiku hadiah saat natal,"
Max tergelak, kemudian kekehan pelan lolos dari bibirnya, "-memangnya dia masih pantas kusebut 'ayah'?"

"-dia yang dulunya menjadi ayah yang sangat menyayangiku dan ibu, langsung berubah total saat ia tak bekerja lagi yang kuketahui perusahaannya bangkrut. Dan disaat itu pulalah ia membuat aku dan ibu jadi menderita. Lalu, apa aku masih pantas menyebutnya sebagai ayah? Jawab aku ibu. Ibu tau? Di dunia ini yang benar-benar menyayangiku hanya ibu. Ibu adalah orang satu-satunya yang mencintaiku. Tak ada seorangpun di dunia ini yang menganggap keberadaanku. Kala aku jatuh cinta pada seorang gadis pun, ia tak mencintaiku. Cinta bertepuk sebelah tangan. Tidak, aku tak membutuhkan siapapun jika aku masih punya ibu di sisiku sekarang. Tapi masalahnya, ada wanita yang kucintai di dunia ini selain ibu, jadi apa salahnya jika aku menunjukkan rasa cinta itu? Ya, bagi Kelly itu semua salah. Dia tak membalas perasaanku, tentu saja. Aku hanyalah pemuda bodoh yang masih mencintainya hingga sekarang padahal dia telah mengkhianatiku."

Max menghela nafas panjang menjeda kata-katanya.

"Aku benar-benar sangat merindukan ibu sekarang."
Max mengakhiri kata-katanya sembari menatap langit hitam sekilas, kemudian menundukkan kepalanya, menangis sejadi-jadinya.

Tok tok tok

"Max, kenapa kau terus mengurung diri di kamar dan mengunci pintunya? Apa kau marah padaku?"
Suara Gabriella dari luar membuat Max menolehkan kepalanya dengan posisi kedua tangan yang bertumpu di lutut.

Pemuda berambut hitam itu segera menghapus jejak-jejak air matanya yang masih tertinggal, dan cepat-cepat bangkit dari duduknya lalu membuka pintu kamarnya.

"Max?"

"Masuklah Gabriella."

Gabriella memicingkan matanya lalu mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat pada Max.

Gabriella menaikkan sebelah alisnya, "Max, kau habis menangis?!"

Max hanya diam dengan mata yang tak berani bertemu pandang dengan mata Gabriella.

"Max, jawablah! Kenapa menangis? Apa kau benar-benar merindukan kucing-mu itu?"

Max menggeleng pelan, "Aku tak apa."

Tangan Gabriella segera meraih dagu Max, "Kau tak berani menatapku, itu artinya kau berbohong."

Max memandang Gabriella datar, "Aku memang merindukan Blacky, tapi dia tak ditemukan bukan?"

Gadis blonde di depan Max itu mengangguk lalu menatap Max lirih, "Maaf."

Detik selanjutnya Gabriella langsung mendekap Max, sembari mengelus pundak pemuda tersebut.

Max Maxwell [COMPLETED]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang