Reuni Malam Sunyi

646 68 50
                                    

Bila suatu hari kau telah temukan bahagiamu
Izinkan aku untuk tetap merindukanmu

------------------------------------------------------


Bandung, 17.44. WIB.

Matahari hampir saja tenggelam. Semburat lembayung senja sempurna memenuhi atmosfer kota Bandung. Aku turun dari mobil putih Ibuku, kemudian mobil itu melesat keluar gerbang meninggalkanku.

"Reavani!" Seorang wanita dengan wajah ramah menyapaku halus.

"Ya ampun, lo cantik bener. Gue kangen," aku tersenyum, itu Liana. Teman dekatku waktu SMA. Dulu kami teman sekelas, sayangnya tahun berikutnya dipisah.

"Eh, Lia. Gimana kabar lo?" Wanita itu memegang bahu sebelah kiriku, menatapku lekat-lekat, aku tersenyum ramah.

"Bae-bae, gila lo berubah gini, Vani. Gak nyangka, suer deh." Liana masih menatapku hangat, sebagaimana kawan lama.

"Hahaha, bisa aja. Gimana? Sekarang udah nikah?" Kami berjalan menuju tangga-tangga kecil. Masuk kedalam restaurant cepat saji. Ah ya, di sini acara reuninya digelar. Meja-meja juga sudah dibooking untuk tiga puluh enam orang.

"Udah, sorry ya waktu itu nggak ngundang. Abisnya gue nggak tau lo tinggal di mana." Aku tersenyum lembut. Ruangan berukuran 12 x 12 m itu ramai pengunjung. Segera saja kami bergabung dengan orang-orang yang menggunakan pakaian hitam, sesuai dress code minggu lalu.

"Vani!" Indah memekik, memelukku erat sekali. Aku hampir saja kehabisan nafas. Wanita itu bekas teman sebangkuku. Jelas saja paling akrab denganku.

"Gimana kabarnya, Ndah?" Kali ini Indah terlihat lebih sumringah. Beberapa orang wanita juga menoleh kearahku. Tentu saja mereka bekas teman sekelasku dulu.

"Duduk dulu, Van. Kok, lo telat sih?" Airin menawariku kursi, aku tersenyum. Mataku masih meliuk-liuk sejak tadi. Mencari-cari keberadaan seseorang itu.

"Oh iya makasih, Rin. Hari ini nganter Ibu belanja dulu, mumpung lagi pulang ke Bandung, 'kan." Orang-orang yang duduk semeja denganku sempurna menjadikanku pusat perhatian. Agak aneh memang rasanya. Mereka terlihat lebih baik sekarang.

"Gimana, sekarang kerja di mana, Van?" Indah bertanya begitu antusias.

"Di perusahaan minyak, Ndah." Mataku masih sibuk mencari sesuatu yang tak kunjung kutemukan.

"Lho? Nggak jadi ngambil jurusan hukum?"

"Nggak, jadinya ke Psikologi."

"Terus jadi HRD?" Aku mengangguk dan tersenyum ramah.

"Mantap, jangan galak-galak, lho, Bu HRD." Serentak teman-teman semejaku tertawa.

"Denger-denger, lo ngambil dua prodi sekaligus, ya, pas program sarjana?" Salsa membuka suaranya yang terdengar sedikit melengking.

"Ha-ah. Management bisnis. Soalnya gue ngerasa minat aja sama jurusan itu."

"Ibu lo yang biayain?"

"Nggak. Ibu biayain yang jurusan Psikologi. Yang jurusan management ya gue cari uang sendiri."

Tiba-tiba mata mereka tertuju ke pintu, di belakang punggungku.

"Tuh, Aditya datang." Demi Tuhan, ribuan rasa bercampur telak di benakku. Antara rindu, malu, canggung, dan ya ... perasaan itu menjadi satu. Ragu-ragu aku membalikkan badan. Laki-laki itu sempurna berada segaris dengan kursiku, hanya berjarak setengah meter saja.

Dia, Kembali (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang