Jangan Pergi

160 32 11
                                    

Jika sungguh kau tak bisa mencintaiku
Bisakah kautetap tinggal menjadi teman baikku?

------------------------------------------------------

Hari-hariku berjalan sebagaimana biasanya, dia baik padaku, perasaanku semakin berkembang, dia menyukai gadis-gadis, dan aku masih tetap setia menunggu. Ironis memang, tapi kenyataannya aku tidak mampu mengendalikan perasaanku sendiri.

"Sendiri aja, nggak shalat, kamu?" Aku menegurnya yang duduk sendirian dalam kelas di Widyaaruan. Seperti hari-hari sebelumnya, kami sudah lama tidak berangkat bersama semenjak hujan hari itu. Dia mulai sibuk dengan teman-temannya. Sekarang ditambah Salsa menjadi teman ketawa-ketiwinya, mengambil banyak waktu luangnya. Membuat dia semakin mengenyampingkan aku.

"Udah sebelum ke sini. Iya nih sendiri, pengennya sih kamu temenin ... kamu nggak shalat, Re?" Dia menggigit roti rasa stroberrynya.

"Udah juga sebelum ke sini." Aku duduk di tempatku, membelakanginya. Sengaja, karna belakangan aku merasa diabaikan.

"Berarti kamu datang telat juga?" Aku mengangguk tanpa menoleh.

"Mmmm ... habis dari mana?" Kali ini aku menengok ke arahnya, menatap wajahnya yang sengaja menghentikan gigitan roti.

"Dari rumah pelatih." Dia masih menatap bola mataku hati-hati, "Ng-ngapain?"

"Ngambil gaji." Bibir tipisnya digigit, aku memalingkan wajah.

"Kamu belakangan sering telat, Dit," kataku lirih.

Dia tersenyum pahit, "Iya, Nandira sama Salsa sering ngajak main basket. Aku nggak enak kalau nolak." Nggak enak atau doyan? Aku mengangguk pelan, bahkan kehadiran perempuan itu jauh lebih penting dariku.

Dia begitu, seolah tidak pernah ada yang dirahasiakan dariku tentang masalah cintanya. Termasuk ketika dia mengganti pola kunci hp menjadi huruf "M". Terlihat norak mungkin, tapi bukankah sudah jelas? M untuk Mutia.

Suatu siang kami kerja kelompok, aku sudah mulai canggung dengannya. Dia juga seperti mulai enggan menyapa, entah apa sebabnya. Bahkan aku tidak pernah tahu, beberapa waktu belakangan, pesan-pesan singkat juga sudah jarang dikirim, bertemu sudah jarang menyapa, apalagi masalah kemana-mana berdua. Sudah tertinggal jauh di belakang.

Sekarang dia sedang akrab dengan Salsa. Sebatas teman, Salsa orang yang menyenangkan, supel, humoris, dan sederhana. Sedikit banyak aku cemburu, sebab dia lebih senang mengobrol dengan Salsa dibandingkan mengobrol denganku.

"Hari minggu, ada lomba baris-berbaris. Kamu mau nemenin aku nonton?" Ragu-ragu aku bertanya, takut jawabannya adalah tidak. Karna, kenyataannya sekarang dia jarang lagi pergi denganku.

"Yuk, jam berapa?" Mata bulatnya beseri menatapku, aku seolah mendapat angin segar.

"Agak pagi, ya. Aku pengen nonton team favoritku." Dia mengangguk.

Tid ... tid ...

Aku menoleh, itu Tegar. Teman lamaku, sudah janji akan pergi denganku siang ini. Aku menatap teman-teman sekelompok, "Ehm, aku harus duluan. Ada perlu dengan temanku. Maaf ya." Dia menatapku dengan wajah menyelidik. Tegar membuka helmnya, tampak wajah putih dengan kepala plontos tersenyum ramah pada teman-temanku.

"Siapa, Re? Pacar?" Salsa spontan bertanya padaku di depan dia yang masih menampilkan wajah ingin tahu.

"Ha? Bukan. Teman lama." Dia masih terdiam, sedangkan teman-teman lain menatapku sambil tersenyum-senyum, yang mereka tahu selama ini, aku tidak punya teman, apalagi berjenis kelamin laki-laki.

Dia, Kembali (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang