Laki-laki bernama Elvan

176 31 14
                                    

Aku sibuk berkutat di depan laptop sejak pagi, sesekali menyeruput kopi ekspreso yang tinggal setengah cangkir. Belakangan, meminum kopi menjadi suatu keharusan buatku ketika bekerja.

Ting-tung ....
Ting-tung ....

"Pasti Aditya, seharusnya dia kemari hari ini," bathinku. Bel itu terus ditekan dalam kurun waktu yang dekat.

"Tunggu sebentar, kenapa, Dit?" Aku bergegas membukakan pintu dan menyembulkan kepala.

"Ko Elvan?" Wajah yang sudah lama tak kutemui itu menyeringai. Tidak ada yang berubah, masih setampan 10 tahun yang lalu. Hanya garis-garis wajahnya yang terlihat lebih dewasa.

Namanya Elvan Xavirius Abraham, laki-laki berdarah Tionghoa, kulitnya putih halus sesuai darah asalnya, matanya sipit, hidungnya bangir, wajahnya oval, bibirnya seimbang atas bawah dan terkesan kissable, rambutnya legam kontras benar dengan kulit terangnya, lengkap dengan tinggi dan berat badan yang proporsional. Tampan. Dia kakak sepupuku.

"Reavani, 'kan? Benar-benar berubah." Lelaki di hadapanku merentangkan tangannya, aku segera menghambur dalam pelukannya. Menyambutnya dengan lebih akrab, menghilangkan kecanggungan yang menutupi perjumpaan kali ini.

"Rindu?" Ia mengeratkan pelukannya, sesekali mengecup puncak kepalaku. Aku mengangguk di dalam dekapannya.

"Nggak akan diajak masuk?" Aku nyengir kuda, kemudian menggeret lengannya memasuki ruang tamuku.

"Koko kapan pulang dari Belgia? Udah mau nikah, ya? Jangan dulu dong, masih muda. Lagian Rere masih mau manja-manjaan sama Koko," kataku seraya duduk menggelendot padanya. Agak geli mungkin mengganti namaku menjadi Rere, seperti itulah kebiasaan kami. Katanya, itu panggilan sayang untukku.

"Udah pulang dari dua hari yang lalu sih, pas ke Bandung katanya kamu udah pindah ke Jakarta. Makanya nyusul ke sini." Lengan putihnya meraih remote tv.

"Bagus juga nih, rumahnya. Rapih, kaya rumah cewe." Lelaki itu mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan.

"Iya, dong. Rere kan cewek tulen."

"Gimana kerjaan Cici? Dengar-dengar ada yang baru dapat promosi, nih?" tanya Ko Elvan sambil mencubit pipi kiriku.

"Ha-ah, tapi ya berarti pindah tugas lagi. Kasihan, 'kan Farid sudah masuk UI, masa musti ikut pindah ke Balikpapan," kataku sambil berdiri dan mengikat ulang rambutku.

"Koko mau minum apa? Air putih aja, ya? Nggak usah nawar." Sepupuku itu membuka jas coklatnya.

"Kamu nggak mau nikah?" Aku berhenti menuangkan air dari dalam botol ke gelas. Langsung menoleh pada sumber suara.

"Kenapa memang?"

"Ya ... lagian udah tua, 'kan. Rumah juga sepi gini." Ko Elvan mengedarkan pandangannya.

"Siapa juga yang nggak mau menikah, Ko. Tapi siapa juga yang mau sama Rere," kataku sembari tertawa dan menutup pintu lemari es.

"Kerja di kantor Koko aja, Re. Kamu mau posisi apa, dikasih, deh."

"Halah, malah ngajarin Rere nepotisme. Nggak mau deh kalau harus pindah ke Belgia. Mendingan ke Balikpapan aja, masih Indonesia." Lelaki itu tertawa renyah, menampakan deretan gigi putihnya yang tersusun rapi.

"Koko sekarang megang cabang pabrik kopi papa yang di Depok.Oh iya, besok Koko mau balik ke Bandung. Rere ikut ya? Mama udah nanyain kamu dari waktu itu."

Aku menimbang-nimbang, "Boleh lah. Tapi nggak janji ya, soalnya kalau jadi, hari ini teman lamaku mau datang dari Singapura. Mungkin besok bakal dipakai untuk liburan dengan dia," celotehku sambil mengutip kata "dia" dengan kedua tanganku.

Dia, Kembali (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang