Awal-awal tentangmu

323 44 15
                                    

Tak akan ada perasaan berharap,
Kalau saja bukan kamu yang memberi kenyamanan


------------------------------------------------------

Senin pagi di sekolah, aku datang pukul 06.00. WIB. mungkin terlalu pagi. Tapi, bukankah tidak baik bagi siswa baru datang terlambat? Aku mematut kakiku di atas pelataran hotmix depan sekolah. Suasana masih hening, udara pagi terasa segar menggetarkan dadaku. Aku datang paling pagi di sekolah. Lolos merenggut rekor terpagi yang selama dua tahun berturut-turut dikuasai si ketua OSIS.

Pintu kelas masih tertutup rapat, aku mendorongnya perlahan membuka celah kecil memasuki kelas X Fisika 2, buru-buru aku mengambil posisi duduk yang kukira terbaik. Aku masih termenung sendiri--jangan tanya tentang dia, tentu saja belum datang sepagi ini.

Hari itu aku dapat teman baru, namanya Indah. Wajahnya cantik, tinggi semampai. Indah juga pintar, dan dia duduk sebangku denganku. Indah akan menjadi salah seorang yang penting dalam cerita ini.

Dia datang ketika bel hampir berdering. Aku sempat melihatnya ketika upacara hampir saja dimulai. Lagi-lagi dia berdiri di depanku, dan lagi-lagi aku diam membeku. Tidak banyak yang bisa kuceritakan ketika upacara itu berlangsung, bahkan suasana lapangan hotmix itu sunyi-senyap. Hanya suara petugas upacara yang terdengar nyaring, juga hentakan kaki mereka.

Kelas Fisika 2 riuh ramai, semua siswa begitu antusias dengan fase perkenalannya. Aku dengan penuh wibawa maju ke depan, memperkenalkan diriku secara detail. Dia maju di urutan ke dua puluh satu, aku tersenyum ketika dia salah menyebutkan namanya "Nama sendiri kok lupa?" dia balas tersenyum manis dan menatapku hangat, aku terpaku atas itu.

Siang sewaktu pulang sekolah di hari pertamaku, aku duduk di koridor depan kelas, di depan pembatas kelas kotak-kotak putih, sibuk mengikat tali sepatu putihku. Dia masih di dalam, sibuk dengan buku-bukunya. Lantas keluar tergesa-gesa.

“Hai, Rea!” Dia tersenyum manis, aku mengangkat kepalaku membalas senyumnya.

“Hai, Aditya.” Dia duduk di sampingku, ikut sibuk dengan tali sepatu putihnya. Aku beranjak berdiri, dia ikut berdiri sambil sibuk menggenggam kantung plastik berisi sterofoam. Kami berjalan beriringan. Oh tidak, dialah yang menyamai langkahku.

“Pulang bareng, Say?” (Say maksudnya sayang) dia menyeringai geli, aku tahu itu tentu saja bercanda.

“Apa, Yang?” Aku membalasnya, menatap matanya manja. Dan dia ... menggandeng mesra tanganku, aku tersentak kaget melirik ke arahnya, wajahnya tetap lurus ke depan. Sudah tentu itu bercanda, boleh jadi juga dia mencuri kesempatan. Aku menggelendot manja di lengan kirinya, supaya menambah kesan candu.

“Mau ini? Kalo mau kita makan berdua, nanti kamu aku suapin. Hahaha.” Dia mengangkat kantung plastik itu.

“Mau, dong. Sini, suapin aku. Hahaha.” Kami terkekeh berdua, benar-benar aku gembira siang itu, tanganku masih setia bergelayut manja di lengannya, disaksikan puluhan pasang bola mata teman sekelas, atau lebih buruknya boleh jadi mereka kakak kelas.

Orang-orang di sekeliling memandangku sebal, aku bergeming. Biarkan saja, aku sedang berbunga-bunga, ini memang bercanda. Tapi, apakah mereka pernah seintim ini dengannya? Aku merasa istimewa, pertama kali merasa menjadi seseorang yang istimewa baginya. Mendapat tempat istimewa di hatinya. Biarkan saja meskipun itu hanya asumsiku sepihak.

Aku melepas genggamanku, bukannya bosan, malah aku senang. Kalau saja bisa, tentu aku minta sampai besok, lusa, nanti, tahun depan, bahkan sampai kiamat. Tapi halte merah di seberang gerbang tidak mengizinkan.

Dia, Kembali (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang