Pertamakali Senyum Itu Menjadi Indah

387 59 34
                                    

Aku jatuh cinta,
Untuk pertama dan terakhir kalinya
Terimakasih telah banyak mengukir cerita indahku.

------------------------------------------------------

Dia masih memejamkan matanya. Kepalanya menengadah ke atas, bola matanya menggeleng-geleng di dalam kelopak mata lebar itu. Tampak samar ke kanan dan ke kiri. Aku tahu dia tidak tidur, kuperhatikan wajah bulatnya dari sudut mata kiriku. Dia tetap tampan, seperti delapan tahun yang lalu, waktu kita duduk di depan koridor kelas.

Aku memalingkan wajahku ke sebelah kanan. Menatap karet hitam pengencang kaca, di sana ada seekor semut berjalan, tanganku bolak-balik membuntuti ekornya. Semut itu berlari terbirit-birit. Aku tersenyum puas, lantas teringat potongan kejadian berikutnya.

Siang itu aku datang kesekolah, pukul 11.05 --kelasku kena shift siang, aku malah datang terlalu pagi, bahkan anak-anak kelas pagi baru selesai istirahat. Aku duduk di depan koridor kelas IX Sosiologi bersama Sinta. Cuaca siang itu sedang panas-panasnya, matahari terik membakar, apalagi pemasangan AC  di setiap ruangan yang memperparah kondisi cuaca di luar. Kami beranjak saja dari sana, berjalan ke luar gerbang mencari setumpukan pedagang kaki lima yang menjajakan air dingin.

Dia berjalan ke arahku. Ke arah pagar maksudku, dia kena kelas pagi. Oh iya, aku lupa bercerita. Setelah masa ospek tujuh hari itu kami dipisah kelas lagi. Sebagian di bagian siang, sebagian di bagian pagi, karna kondisi ruangan masih belum memadai dengan tampungan siswanya.

Dia tersenyum begitu lembut. Memiringkan kepalanya ke sebelah kiri. Aku dengan refleks mengikuti.

“Hai, Aditya.” Aku balas senyum seramah mungkin.

“Hallo, Reavani. Mau kemana?”

“Beli air.” Dia mengangguk tersenyum. Sinta yang berjalan di sebelah kiriku mendengus.

“Kenal aja kalo sama yang ganteng, Vani. Siapa sih?”

“Hah? Barusan? Itu lho, Sin, temen ospek kemarin, Aditya.”

“Gak liat, gue.” Aku mengangkat bahuku tak acuh.

“Kayanya dia suka sama lo, deh, Van. Lo juga kayaknya bakal suka, deh sama dia.” Aku tergugu. Itu hanya gurauan saja, Sinta memang agak sok tahu.

Sebenarnya, Sinta tidak sok tahu. Hanya siang itu aku memang belum jatuh cinta. Lihat saja siang nanti. Menurutku jatuh cinta bukan hanya sekedar soal dia yang baik, atau dia yang pintar, lebih naif lagi karna dia tampan. Itu namanya bukan cinta, tapi obsesi remaja, tentang perasaan kagum, dan tertarik.

Jatuh cinta itu soal hati, tentang seberapa besar kamu bisa mengerti, betapapun seberapa banyak dia diberikan kekurangan, maka kaulah pelengkap setiap inchinya, dan sekecil apapun kelebihannya, maka itulah pandangan indah hidupmu setiap saat.

Bel berdering tiga kali. Resmilah jam pelajaran kelas pagi sudah habis. Siswa-siswi dari dalam kelas berhamburan. Saling dorong-mendorong, berebut jalan, seolah takut saja kalau hari keburu habis. Tidak sedikit juga yang terjatuh, tersandung, atau terimpit. Aku berdiri takzim, lantas buru-buru menghampiri kelas yang telah kosong. Duduk di bangku barisan ke dua dari kanan, meletakan tas hitamku. Oh iya, Sinta juga bukan masuk kelasku. Kelasnya di lantai dua, aku di lantai dasar.

Suasana kelas masih sepi, gelap menerpa setiap sudutnya, sengaja gordynnya dibiarkan tertutup. Aku berjalan ke arah dua pintu besar berwarna coklat muda, keduanya dipolistur dengan warna dan kilauan yang sangat menawan. Mengeluarkan kepala dari celah pintu yang terbuka tak begitu lebar, lalu menengok kanan dan kiri, seolah mencari sesuatu.

Dia, Kembali (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang