Aku ingat pemberhentian pertama bus sekolah kami sepulang dari dusun itu. Hari itu kunjungan observasi peserta MOS ke sebuah dusun terpencil di pinggir kotaku. Aku mulai menyadari, bahwa dalam beberapa hari masa ospek itu dia mendekatiku. Semuanya berjalan secara signifikan. Tentang perasaannya? aku tak tahu. Dia mendekatiku karna menyukaiku, atau mendekatiku karna mencari teman. Kau simpulkan sendiri setelah semua cerita ini selesai.
Saat itu sudah sore, langit menguning. Matahari mulai runtuh di ufuk barat menampakan indah sinar senjanya. Menciptakan ratusan pancaran sinar kekuningan yang seolah terjepit di peraduan bumi dan langit. Masing-masing dari kami sibuk menerobos pintu bus yang baru saja terbuka. Menghirup segarnya AC dari dalam. Aku memilih bangku tepat di belakang sopir. Bangku pertama. Kursinya ada tiga, kebetulan kosong semua. Ah, lagi pula tidak satupun dari mereka mau duduk denganku. Sinta tidak ikut kunjungan ini, dia sakit.
Aku meletakkan sembarangan ransel beratku. Lantas memejamkan mata di atas sandaran kursi berwarna coklat gelap. Dia dan Haris penumpang terakhir yang masuk. Beberapa kursi di belakangku sebenarnya kosong. Terisi dua anak perempuan di setiap tiga buah kursi.
“Duduk di mana nih, Dit?” Haris memegang bahunya. Dia menyeringai bingung. Menatap seluruh kursi sampai bagian belakang. Tidak ada yang kosong total.
“Di sini aja, Ris. Duduk dengan Rea.” Dia menunjuk kursi di sebelahku, aku langsung menurunkan tasku. Maksudku mempersilakan keduanya duduk.
Dia duduk tepat di sebelahku. Tersenyum hangat dan terlihat sangat manis. Aku membalasnya kaku. Anak perempuan di kursi belakang langsung mengagetkanku.
“Vani, kayaknya perempuan duduk dengan perempuan, deh.” Dengan lesu aku menyeret tas beratku. Duduk di samping gadis itu. Aku berusaha memejamkan mataku, dan hanya sia-sia saja.
Bus tiba-tiba berhenti ketika aku mulai terlelap. Mataku terbuka, menyaksikan orang di bangku depan berdiri lalu membenahi tas nya. Dialah si penumpang yang hendak turun.
“Teman-teman, saya duluan.” Dia melambaikan jemari jenjangnya.
“Aku duluan, Rea.” Dia menatapku sambil mengulum senyum, menyampaikan secara pribadi, bahwa di sinilah rumahnya. Aku membalasnya dengan mengangguk mantap lantas tersenyum semanis mungkin. Dia turun dengan menyangga jaket tipis coklatnya di lengan kiri. Memegangi tangan tangga bus, lalu melompat riang keluar.
Gadis di kursi jajaran nomor lima berdiri, jilbabnya sepinggang, menatap lamat-lamat rumah dia. Oh ya, perlu juga kuceritakan agaknya, bahwa gadis-gadis tanggung di kelasku ini hampir semua menaruh hati padanya. Bagaimana tidak, dia paling tampan di kelasku, lagi-lagi yang paling baik, lembut, dan sangat santun. Tapi aku belum tertarik. Entah kalau besok.
Semenjak hari itu dia sering mendekatiku, duduk di sampingku, menyapa, tersenyum, mengejar-ngejar langkahku, atau lebih kecilnya sekedar curi-curi pandang. Tetap saja aku masih tidak paham, bahwa dia bermaksud ingin mengenalku lebih jauh.
Aku duduk di depan kelasku, di koridor. Memakai sepatu tali putihku. Dia entah dengan sengaja atau tidak ikut duduk di sampingku, lantas menyapa sambil tersenyum
“Pulang, Rea?”
“He-eh,” aku mengangguk membalas senyumnya.
“Eh ngomong-ngomong, kenapa kamu panggil aku Rea. Yang lain panggil Vani?”
“Ya ... lebih suka paggil Rea aja. Hehehe.” Aku lebih cekatan mengikat tali sepatuku. Alhasil, aku selesai lebih dulu darinya.
“Duluan, ya, Dit," aku masih menatapnya sambil tersenyum dan beranjak berdiri, merapikan rok bagian belakangku. Sekarang giliran dia yang hanya mengangguk sambil tersenyum. Juga semenjak hari itu, tempat itu, koridor depan kelas X Fisika 2, di depan pembatas kelas yang menghadap ke lapang hotmix hitam, menjadi tempat favorit kami. Oh, mungkin saja hanya aku, bagi dia bisa jadi biasa saja, tidak ada yang istimewa.
Aku berjalan menyusuri koridor kelas, dengan ribuan tatapan tajam dari belasan pasang bola mata teman-teman sekelas MOS ku. Mereka bergerombol berbisik-bisik, “Aditya tuh ganteng tau, baik banget, sopan lagi. Iiihhh suka deh.” itu desisan gadis dengan jilbab sepinggang di bus sekolah. Aku terus berjalan tenang, tak peduli dengan tatapan tajam ingin menerkam dari mereka. Menaiki angkutan kota berwarna putih menuju rumahku.
"Rea!" Dia membuyarkan lamunanku.
"Ya?" Aku hanya sedikit menoleh. Bus sejak tadi sepi, sebagian orang sudah tidur. Sebagian lainnya sudah turun. Ini sudah pukul sepuluh malam.
"Kamu, udah nikah?" Aku membelalakan mataku. Beberapa hari terakhir, menikah menjadi suatu pertanyaan yang familiar sekali.
"Ah ... Belum, Dit." Gerogi sekali aku menjawab. Dia manggut-manggut.
"Nunggu apa? Kamu cantik, matang, pintar, dan dewasa."
"Nunggu calonnya. Hahaha, belum ada." Jawaban itu tentu saja penuh harapan. Semoga yang kusemogakan tersemogakan.
"Lha? Masa sih. Saya pikir, untuk orang sejajaran kamu pasti gampang bikin orang lain tertarik." Air wajahnya begitu serius.
"Menikah bukan sekedar perihal tertarik, Aditya. Akan hidup serumah, setiap hari bertemu, setiap saat bersama, melihat semua keburukan. Juga bukan hanya untuk sehari-dua hari. Tapi seumur hidup. Karena kelak, hidup bukan hanya soal cinta. Tapi soal moral, dan materi."
"Kamu benar, Rea. Tapi kalau nikah, undang, ya?" dia terkekeh. Aku mencebik malu. Tentu akan kuundang, kalau bisa dialah yang menjadi pengantinku.
"Aku sendiri masih bingung. Banyak perempuan yang makan malam denganku. Tapi untuk lanjut ke pernikahan, aku masih ragu."
"He-eh. Kita nggak pernah tahu, siapa yang siap mencintai kebaikan kita, mendekap keburukan kita, menyisip keegoan kita. Terkadang orang yang baru dekat dengan kita akan sangat mudah tertarik. Tapi dia belum tentu tahu, seperti apa keburukan kita, dan dia, boleh jadi akan berlari setelah melihatnya." Dia menatapku sambil tersenyum, aku tak berani balas menatapnya.
"Kamu selalu menjadi teman berkeluh kesah yang baik, Rea. Saya senang dengan kata-katamu. Selalu membuka pikiran, meluaskan pandangan, dan memberikan motivasi. Saya kagum sekali." Ingin sekali kutelan planet bumi ini. Supaya dia tahu, bahwa semakin dia memujiku maka genggaman aneh di hatiku itu semakin mengerat.
"Di antara teman-teman SMA kita, siapa yang masih sering berhubungan dengan kamu, Dit?"
"Mmmm, Mutia mungkin." Tenggorokanku tercekat mendengar nama itu. Wanita itu selalu saja istimewa untuknya.
"Terus, ke mana kamu selama ini? Bukannya waktu graduation day janjinya bakal tetep saling ngabarin?" Aku mendelik, tentu saja api cemburu itu hidup lagi.
"Jadi, pas kamu ganti account line waktu itu, saya udah cari kontak kamu. Tapi nggak ada, dan kayaknya kamu juga ganti nomor telepon." Benar, memang aku yang sengaja menghindar.
Aku sengaja ingin melupakannya. Karna kupikir dia takkan pernah bisa kuharapkan, maka melupakan adalah solusi terbaik. Semua hal yang bersangkutan dengannya kuenyahkan. Tetapi pahitnya, kenangan itu tidak pernah berhasil hilang. Bahkan selama lima tahun, setiap malamnya kenangan itu berputar lagi, lagi, dan lagi.
"Hehehe. Maaf ya, waktu itu telepon genggamku ke upgrade. Terus aku nggak hapal nomor telepon kamu." Bohong! Dusta sekali. Jangankan nomor teleponnya, nomor telepon ibunya, kakaknya, ayahnya, tetangganya, nomor sepatunya, nomor sandi teleponnya, bahkan nomor punggung main bolanya masih begitu kuingat.
Dia menghela napas. Memejamkan mata hitam bulatnya. Dia pasti begitu kelelahan. Wajahnya terlihat lusuh, garis-garis matanya kontras sekali.
"Capek, ya?" Dia tersenyum lagi, masih sambil memejamkan mata.
"Tidur aja. Aku jagain kalo ada nyamuk." Memangnya sejak kapan di bus ada nyamuk?
"Kamu juga tidur aja, Rea. Aku nggak apa-apa."
------------------------------------------------------
Maaf ya ini nggak nyampe-nyampe😂 ntar deh di part berikutnya. Insya Allah nyampe. Bandung-Jakarta lumayan jauh lho😂
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia, Kembali (COMPLETE)
ChickLitBeautifull cover by : Kelly Felicia Tahukah kamu? Aku selalu membuka pintu hatiku, selalu menunggumu pulang, sendirian dengan sejuta luka di hati, biarpun kau tak pernah berniat pulang. Aku tetap menunggu. Dan kau dengarlah, aku selalu pulang ke hat...