Ribuan Hari

131 30 9
                                    

Dunia bahkan sudah terlalu tahu
Bahwa di antara kita, semua sudah berubah
Entah karena aku yang mulai menghindar
Atau karena kamu yang terus menjauh

------------------------------------------------------

Hari-hariku berselang dambar, dia semakin dekat dengan Airin dan Salsa, sedangkan aku semakin lama semakin terlupakan.

Bahkan, pernah suatu siang--semenjak hubungan kami terasa begitu berjarak, dia duduk tepat di sampingku. Perasaanku tak bisa dijelaskan, antara senang, bingung, canggung, bergemuruh menjadi satu. Dia tersenyum padaku, aku balas tersenyum kelu. Asing sekali, aku diam, dia ikut terdiam.

"Reavani!" Aku menoleh, suara itu berasal dari Mutia.

"Kalian kenapa, sih? Belakangan keliatan jauh-jauhan? Lagi marahan?" Aku masih diam, dia juga begitu.

"Ada yang berubah, ya. Biasanya deket banget. Kok tiba-tiba ada jarak gitu keliatannya." Mutia melengkungkan senyum prihatin. Aku mengembangkan senyum setulus mungkin.

"Nggak, kok, Mut. Aditya lagi dapet temen baru, kali. Dari dulu kita gini-gini aja, 'kan, Dit? Temen kan kadang berganti-ganti. Gak harus itu-itu aja." Dia menatap bola mataku, tersenyum tipis, tipis sekali.

"Yayaya. Semoga memang gitu." Aku diam lagi, dia juga tetap berada pada posisi yang sama.

"Eh, nomor 12 jawabannya apa? A atau D?"

"Hah? C." Dia menggaruk kepalanya.

"Haduu, nggak dengar tadi," katanya sembari meninju lenganku.

Aku tahu, dia berusaha mencairkan susasana canggung di antara kami. Aku tahu, dia mulai sadar bahwa semua orang sudah tahu, bahwa ada banyak hal yang berubah di antara kita. Lihatlah, semua orang merasakannya.

"Nomor 16 apa?"

"B. Dengerin makanya." Aku bersiap menoyor jidatnya. Dia menyeringai lebar.

Aku membuka aplikasi BBM di telepon genggamnya, melihat banyak sekali list obrolan. Salah satunya dari Airin, pesan yang nampaknya tak berujung, yang terlihat tak pernah dihapus semenjak mereka pertama kali bertukar pesan.

Dan lihatlah, obrolan yang mereka bicarakan, pesan yang dia kirimkan, sama persis dengan pesan-pesan yang biasanya dia kirimkan padaku pada waktu-waktu lalu. Apakah itu artinya dia pernah menyukaiku? Seperti dia menyukai Airin, mungkin?

Lebih banyak perasaan nyeri dibandingkan perasaan senang yang berasal dari asumsi-asumsiku. Sekali lagi, aku membuka ruang obrolan bertuliskan namaku, isinya kosong. Hanya satu pesan terakhir, itupun berakhir dengan tanda hanya dibaca. Lihatlah, semua sudah berubah. Dia taklagi menganggapku penting.

***

"Kapan pulang ke Indonesia ...." Aku meluruhkan tubuhku ke sofa coklat.

"Hmm, tiga minggu ke depan kayaknya aku bakal ke Indo." Wajah bersinar di balik layar telepon itu sibuk meminum soft drink-nya.

Aku mencebikkan bibir. Sejauh ini, hubunganku dengannya tetap berjalan dengan baik, dia rutin memberikan kabar, setiap kali ada kesempatan. Sekar juga belakangan jarang terlihat bersamanya saat di video call. Meskipun beberapa waktu lalu, aku sempat bertukar obrolan waktu mereka pergi ke mall.

"Dit, nanti nonton, ya. Ada film baru rilis, nih."

"Boleh-boleh, film horor lagi?" Dia sibuk mengocek es batu di dalam gelasnya.

Dia, Kembali (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang