Pemilik Sejati

149 34 4
                                    

Aku selalu mencintai senja
Sebagaimana aku mencintai
Semua kenangan denganmu

------------------------------------------------------

Matahari mengungkung di atas awan. Aku dan dia berjalan keluar pagar sekolah. Lalu lintas ramai lancar, beberapa kondektur angkot juga sibuk meneriaki penumpang. Tidak jauh dari tempat kami berjalan, ada kios kecil milik Bi Karsih.

"Mau beli minum dulu?" dia menoleh ke arahku, kemudian mengangguk.

Kami duduk di sana, minum sampai habis. Sial benar aku musti meminum jus sampai habis di tempat itu. Dia melarang bepergian sambil minum. Haha, tradisional sekali.

"Kita mau ke mana dulu?" aku meneguk jus mangga milikku.

"Mau ke Gunawibawa? tanya-tanya dulu gitu?" dia mengangguk setuju. Aku meneguk sisa jus di dalam sedotan. Kami keluar dari kios, dia menatap mataku tersenyum.

"Memangnya silau ya? Padahal mata kamu kecil gitu." Matahari melintasi hidung bangirnya, dia begitu tampan terkena sorot sinar senja.

"Eih?" mataku membulat. Ya, mata kecilku. Dia menyuguhkan senyuman yang begitu hangat sekali.

"Yakin ke Gunawibawa? atau malah mau ke Widyaaruan?" aku duduk bingung di atas bangku halte bus. Dia juga ikut duduk di sampingku.

"Kayaknya memang ke Gunawibawa dulu. Kita nanya-nanya, kalau nggak cocok baru ke Widyaaruan." Dia mengangguk seraya berdiri. Aku mengekori.

"Udah masuk waktu Ashar, ke Masjid dulu ya?" aku mengangguk saja. Kami jalan bersampingan sambil diam seribu basa. Sesekali dia meraih bahuku kalau-kalau aku berjalan terlalu tengah. Aku hanya bisa tersenyum, matahari sempurna menerpa wajahnya yang bercahaya. Terlihat begitu indah pancaran matanya yang selalu bercahaya itu.

***

Dia kembali sekitar pukul sembilan malam, membawakan makanan untuk adikku dan juga untukku--barangkali nanti malam lapar.

"Kakakmu udah tidur?" Farid sedari tadi sore masih asyik di ruang tengah, berkutat dengan laptop hitamnya.

"Eh, nggak tau, Kak. Masuk aja." Samar-samar percakapan di luar terdengar. Aku sejak tadi masih terjaga, hanya sedang berpura-pura tidur. Malas menemani dia bicara setelah kejadian tadi.

Dia mendorong pintu kamarku, kemudian duduk di samping ranjangku.

"Rea? udah tidur?" Aku tetap bertahan memejamkan mata. Dia mengusap puncak kepalaku, menyisipkan anak rambut ke samping telingaku.

"Aku tau kamu belum tidur. Kenapa, sih?" Aku masih memejamkan mata. Dia menyetuh dahiku dengan punggung tangannya.

"Lho? Kamu deman, Re." Segera saja dia beranjak dari ranjangku, ke luar dan meminta Farid mengisikan air dingin ke dalam wadah. Aku mengintip dari balik renggangan kelopak mataku, dia kembali duduk di samping ranjangku.

"Sejak kapan demam?" Aku menggeleng pelan, betul memang. Sejak dia pergi pukul tujuh tadi, badanku terasa remuk, kepalaku pening, kakiku menjadi dingin.

"Maaf aku harus ninggalin kamu tadi. Seharusnya mungkin aku tetap di sini." Benar, benar sekali. Seharusnya dia tetap di sini, menemaniku yang sedang sakit. Bukan mengantar wanita itu ke undangan.

Dia, Kembali (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang