Gadis Bernama Mutia

276 41 8
                                    

Siapa yang memilih jatuh cinta pada si sempurna
Maka dia juga harus siap menanggung konsekuensinya
Bahwa bukan hanya dia yang mengagumi

------------------------------------------------------

Mutia gadis cantik yang kuceritakan sebelumnya. Wajahnya bercahaya, Matanya teduh, tatapannya halus, suaranya bergetar, senyumnya anggun, tidak terlalu tinggi, kulitnya juga tidak terlalu putih.

Sosok gadis ini benar-benar idaman, cerdas, pemegang rangking satu paralel tiga tahun berturut-turut, jalur undangan universitas negeri jurusan kedokteran (mungkin sekarang sudah menjadi dokter), peraih nilai ujian nasional tertinggi tingkat provinsi dengan nilai matematika tidak kurang satu desimal pun. Jangan Tanya tentang keluhuran budinya, orangnya sopan, santun, ramah, lembut, bahasanya halus, tabiatnya baik, dan seorang yang alim agama. Sulit sekali menemukan celah keburukannya.

Selama tiga tahun tanpa penjelasan itulah gadis ini benar-benar menjadi saingan terberatku. Tentunya bukan saingan, karna gadis sebaik Mutia tak akan mau bersaing, dan gadis seperti itu juga tentu bukan tandinganku. Mutia bukan lawanku, terlalu baik untuk menjadi lawan, di sini justru akulah sang antagonisnya. Ada banyak anak perempuan seusiaku yang pernah dekat dengan dia. Tapi semuanya sementara. Sedangkan gadis ini? Benar-benar selama dekat denganku, dia tetap menjaga hubungan baik dengan Mutia.

"Reavani, 'kan?" Aku menoleh menatap wajah teduh di belakangku. Kemudian mengangguk ramah.

"Aku Mutia, ini Tiara. Boleh panggil Rea, 'kan?" Gadis itu tersenyum menunjuk temannya di sebelah kanannya yang berkulit putih. Sedikit lebih tinggi dariku.

"Ah, iya boleh, dong." Aku tersenyum sedikit canggung.

"Mau ikut ke kantin?" Aku mengangguk ramah, lagi pula tidak baik menolak ajakan orang lain, aku juga belum dapat teman akrab. Mutia dan Tiara nanti akan menjadi teman baikku, dua gadis dengan jilbab putih menjuntai hingga pinggang, tentu saja akan punya kepribadian yang menyenangkan.

"Shalat, Rea?" Tiara menegurku yang asyik melamun. Aku menggeleng ramah.

Ruang kelas kosong, siswa lain asyik dengan kegiatannya masing-masing di luar kelas. Aku sendiri sibuk dengan potongan roti di dalam kotak bekal siangku. Dia masuk dari balik pintu, mengucapkan salam yang terdengar begitu syahdu. Aku menjawabnya pelan, dia menoleh menatap kedua bola mataku lantas tersenyum penuh arti. Dengan melempar harga diriku ke kandang singa, aku memasukan kotak hijauku kedalam tas jinjingan. Lalu berjalan menuju mejanya.

"Duduk sini." Dia menoleh menggeserkan badannya, juga senyum itu tak pernah lupa. Aku membalas senyumnya dan menghempaskan pantatku di sana.

Tadi ada banyak sekali hal yang ingin kuutarakan, sekarang dekat dengannya malah dengan mudah sekali aku melupakan hal-hal penting. Dia menyandarkan punggung di tembok bercat hijau itu, aku melipat kedua tangan di atas meja lantas tenggelam di sana. Siang itu kami bedua benar-benar banyak tertawa, membicarakan puluhan hal tidak penting, tidak berguna, dan tidak bermanfaat. Tapi aku senang, dan aku baru tahu, dia itu lelaki yang memiliki selera humor tinggi.

Siswa-siswi sudah hampir seluruhnya ada di ruang kelas. Mutia dan Tiara juga sudah sejak tadi kembali. Bel berdering dua kali, aku beranjak dari kursinya malas. Dia mengulum senyum penuh arti ("sampai jumpa") tidak ada tawa lagi, kelas ini masih ramai, tapi bagiku sepi senyap.

Guru perempuan paruh baya masuk, bajunya merah, lipstiknya juga tak kalah merah. Wajahnya kecut, airnya keras. Dia menyimpan tiga buah buku tebal yang tak mungkin dibaca manusia di atas meja.

"Nama saya Susilawati, anda cukup memanggil Ibu Susi. Saya mengajar sejarah, sekarang ada rapat dinas, jadi saya harus cepat. Kalian buat kelompok harap mandiri. 1 kelompok 4 orang. pertemuan berikutnya presentasikan BPUPKI. Selamat siang." Wanita paruh baya itu mengamit kembali tiga buah buku besarnya berjalan keluar pintu.

Dia, Kembali (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang