Selamat datang Balikpapan

146 28 8
                                    

Aku ingin berhenti mengharapkanmu. Lari dari semua kenyataan pahit, bahwa sekuat apapun aku berusaha membuatmu jatuh hati padaku, ternyata itu tidak akan pernah terjadi. Maaf aku pernah berharap.

------------------------------------------------------

"Kakak harus sering pulang." Farid mendahului mencium tanganku.

"Iya, nanti liburan semester, Farid ke Balikpapan aja sama Koko."

"Aku masuk, ya. Udah waktunya chek-in," kataku seraya menatap kedua bola mata Ko Elvan.

Lelaki itu mengangguk sambil tersenyum tipis. "Kamu hati-hati di sana. Jangan telat makan terus, kamu udah kurusan. Jangan tidur terlalu larut juga, nanti gampang sakit. Jangan nunda-nunda waktu shalat terus, nanti kamu kelupaan. Inget pesan Koko." Aku mengangguk, lelaki itu mengusap puncak kepalaku. Lantas aku merangsek kedalam pelukannya, menangis sejadi-jadinya. Beberapa waktu terakhir, kehadiran Ko Elvan menjadi begitu penting dalam skenario ceritaku.

"Satu lagi, jangan terlalu sering nangis. Udah besar, rajin-rajin pulang ke Jakarta, ya. Koko tunggu," katanya sambil mengusap-usap punggungku. Aku mengeratkan pelukanku.

Berat sekali rasanya meninggalkan Jakarta, meninggalkan segala kenangan tentangnya, meninggalkan seluruh harapan-harapan yang sudah lama bersemai.

Kuusap kencang sisa-sisa air mataku, untuk apalagi aku menangis? Segalanya sudah usai. Tinggallah aku dan segala kenangan yang tak semestinya kurindukan.

"Rea!" Dia datang! Dengan nafas tersengal, kemeja biru telur asinnya basah oleh keringat. Dia ada tiga meter di depanku, ditatap Ko Elvan dan Farid, juga hampir seluruh orang yang berada di sekitar kami.

"Maaf aku terlambat. Jalanan macet, padahal aku udah berangkat dari satu jam sebelumnya," ujarnya masih dengan nafas yang terengah-engah.

Dia melangkah ke depan hendak menghampiriku. Mati-matian kutahan agar kakiku tidak melangkah mundur. Kupaksakan senyum terbaikku agar keluar, sekarang dia berhadapan denganku. Sekujur tubuhku terasa kaku.

"Be-berangkat sekarang?" Dia terlihat canggung sekali. Aku mengangguk pelan. "Hati-hati." Semuanya selesai cukup sampai di situ, dia tersenyum tipis dengan penuh kegetiran. Aku bergeming, menatap semua potongan  kejadian yang hari ini berlalu di hidupku.

Mataku memanas, segalanya telah berubah. Tak ada lagi ucapan perpisahan yang begitu hangat, tidak ada lagi pelukan perpisahan yang kentara sekali akan saling merindukan. Semua sudah hilang, bersamaan dengan hilangnya dia sebagai diaku.

"A-aku berangkat," ujarku. Dia menangguk samar, wajah Ko Elvan terlihat datar menatapku. Aku segera berbalik dan masuk menuju ruang chek-in. Sebulir bening lolos dari mataku, menuju pipiku lantas berakhir dengan kuusap secara paksa.

Tring!

"Pakai ikat pinggang, Mbak?" Aku mengangguk, malas sekali menanggapi pertanyaan petugas bandara. Apakah aku terlihat seperti buronan?

Aku berjalan lagi, masih dengan dagu terangkat dan pandangan lurus kedepan. Dengan ramah costumer service melayaniku, aku hanya sesekali mengangguk saja, lantas buru-buru menuju lobi keberangkatan setelah menaruh kopor untuk dimasukkan ke bagasi. Orang-orang menatapku, mungkin aku terkesan angkuh. Biar saja, inilah aku. Aku sudah kembali, pada kepribadianku yang sesungguhnya.

***

E. Abraham

Aku udah sampe.

Dia, Kembali (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang