Pulang ke Bandung

139 31 12
                                    

Tolong ajari aku,
Supaya memilik rasa yang sama dengamu
Seperti perasaan pertemanan selayaknya

------------------------------------------------------

Matahari naik sepenggalah, aku tiba di rumah sakit Hasan Sadikin, Bandung, bersama dia. Acara dengan Ko Elvan terpaksa kutunda, karna tidak enak menolak ajakan dia. Bukankah kemarin aku sudah mengabaikannya?

Langkahku terhenti menatap seorang wanita yang tengah memeriksa pasien. Itu Mutia, lengkap dengan jas putih dan stetoskop menggantung di lehernya. Wanita itu terlihat anggun dengan kerudung ungu muda dan rok hitam pekat panjang sematakaki.

"Mutia yang rawat Bunda kamu?" Dia mengangguk sambil tersenyum padaku.

Sedetik jantungku berdebar lebih kencang. Entah kenapa ribuan rasa ketakutan mulai muncul dalam hatiku. Terutama melihat Mutia yang akrab bercengkrama dengan wanita paruh baya di depannya.

"Tuh Mutia keluar."

"Udah boleh masuk?" Wanita itu mengangguk, ramah sekali. Tersenyum pula padaku.

"Masuk aja."

"Yuk, Rea. Ditinggal ya, Mut." Aku mengekorinya menuju ruangan rawat VVIP itu.

"Sudah lebih baik, Bunda?"

"Alhamdulillah, ini siapa?" Wanita paruh baya itu menatapku lamat-lamat. Ah, dia pasti sudah lupa. Delapan tahun tentu bukan waktu yang sebentar, apalagi dia musti mendapati perubahan yang signifikan pada diriku.

"Ini Reavani, Bunda. Teman Aditya waktu SMA," kataku sambil meraih punggung tangannya.

"Oh, Rea. Yang dulu sering Bunda telfonin kalau Adit telat pulang, ya?" Aku mengangguk melihat Bunda terkekeh.

"Masya Allah, sudah besar. Cantik sekali, beda dengan waktu SMA. Dulu agak gelap, ya? Sekarang cantik, mulus. Kerja di mana sekarang?"

"Di perusahaan minyak, Bunda."

"Oh, ya? Jadi apa?"

"Manager HRD. Keren, 'kan?" sambarnya.

"Alhamdulillah, anak-anak Bunda sukses semua, ya." Aku tersenyum, Bunda terlihat ceria sekali.

"Sudah menikah?"

"Belum, Bunda," kataku sambil tersenyum.

"Lho, ayo. Nunggu apa lagi? Sudah cantik, sukses, mapan, matang. Perfectly, tinggal menikah, punya momongan." Aku hanya tersenyum ramah. Rasanya masih canggung berbicara soal pernikahan di depannya.

Dia duduk di sofa seberang troli obat-obatan, melepas satu kancing baju bagian atasnya. "Mau makan dulu, Re?"

"Eh? Boleh." Dia sepertinya tahu perasaan canggungku.

"Yaudah, kita ke kantin. Bun, ditinggal bentar ya mau sarapan."

***

Aditya : "Udah terlalu banyak yang berubah di antara aku sama dia, Re." Aku bergeming menatap pesannya. Kali ini, setelah sekian lama tidak membuka ruang obrolannya, akhirnya pertahananku roboh. Aku memulai pesan duluan, dengan mengirimkan video prank padanya. Bagusnya, dia menanggapi selayaknya seorang sahabat. Ah, respon yang baik. Setidaknya, hal itu membuat semua rasa canggungku selama beberapa waktu belakangan sempurna meluruh.

Reavani : "Kan kamu yang bilang, 'setiap orang, pasti akan berubah.' Inget, nggak?"

Aditya : "Iya. Aku bahkan bilang ke dia, kataku, 'Kamu keliatan berubah.' Dia jawab, 'berubah gimana? Perasaan aku nggak berubah. Kamu yang berubah, malahan,' gitu." Aku tercekat. Setidaknya aku masih hapal bahwa itu potongan dialog yang kukirim padanya beberapa waktu lalu.

Dia, Kembali (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang