Pentingkah Aku?

183 29 4
                                    

Aku sudah lelah menunggu
Hanya sekedar ingin tahu
Apakah kau pernah mencintaiku

------------------------------------------------------


"Berangkat bareng, 'kan?" Dia duduk di sampingku, ikut mengikat tali sepatu sebagaimana biasanya. Aku mengangguk tanpa menatapnya. Indra keluar dari dalam kelas, lengkap bersama Haris dan Adi.

"Yuk, Dit, Rea. Berangkat." Dia berdiri menungguku menyelesaikan jalinan sepatu. Kami berempat menuju kampus Widyaaruan. Di jalan aku merasa begitu asing, dia juga seringkali mengabaikanku, lebih asik bicara dengan teman-temannya daripada denganku agaknya.

Aku pura-pura sibuk dengan ponselku, sampai hendak menabrak tiang-tiang lampu jalan, "Awas nabrak. Kamu jalan di sebelah sini, deh." Dia menggeser tubuhku ke sebelah dalam. Kami diam lagi, sesekali dia menoleh padaku, sepertinya dia mulai tahu bahwa aku merasa tidak nyaman.

Tiba di ruangan kelas juga begitu saja, dia asik dengan teman-temannya. Sedangkan aku asing sekali dengan teman-teman baru. Kami tidak duduk berdekatan, dia di depanku dengan Indra, Haris, dan Adi. Aku tepat di belakangnya.

Setelah hari itu, pertemuan kelas tambahan berikutnya aku memutuskan berangkat sendiri. Karena malas kalau musti berangkat bersama dia tetapi diperlakukan seperti sore kemarin. Aku sudah terbiasa sendiri, bukankah itu tidak akan menjadi masalah besar?

Badanku terasa kurang sehat, beberapakali mengerjapkan mata seolah terasa panas. Jarak sekolahku ke Widyaaruan sebetulnya tidak sampai satu kilo meter, tapi aku memutuskan naik angkot saja, supaya tidak kelelahan. Sendirian, karna setelah asik membereskan project-ku, dia terlihat sedang asik dengan teman-temannya. Untuk apa kuganggu? Dia mungkin tidak mengharapkanku berada di sekitarnya. Toh, kalau saja dia menginginkan, seharusnya sejak tadi dia mengonfirmasi.

Aditya : "Rea, Kamu di mana?"

Delapan belas panggilan tak terjawab, dari dia.

Aditya : "Rea ...."

Aditya : "Rea, kamu berangkat nggak? Aku cari kok nggak ada? Kamu di mana sekarang?"

Liana : "Vani, lo di mana? Aditya nyariin."

Aditya : "Rea ... balas please."

Reavani : "Ya ampun, maaf, Dit. Aku di angkot, berangkat, kok. Kamu berangkat, 'kan?"

Reavani : "Iya, Li. Udah kok, makasih ya :)."

Aditya : "Ada apa? Kok naik angkot? Kenapa nggak bilang? Kenapa nggak berangkat bareng? Aku fikir kamu kemana, Re. Sampe aku nyari-nyari ke kelas lain. Kukira kamu kumpulan paskibra, atau nggak berangkat." Hatiku buncah sekali melihat pesannya yang penuh nada kekhawatiran. Sungguhkah dia sekhawatir itu padaku?

Liana : "Ampun, kemana aja, lo? Aditya nyariin dari tadi kesian. Sampe mukanya rusuh banget nyariin lo kemana-mana, nanya ke semua orang. Dia nanya ke gue, makanya gue chat ke lo." Kalimat pendukung yang membuat riang hatiku berkepanjangan. Ah, ternyata dia sesibuk itu mencariku. Tidak perduli tanggapan Mutia, Airin, bahkan Nandira.

Reavani : "Maaf ya, aku kurang sehat, nih. Mungkin kalau jalan bakal tambah parah. Makanya naik angkot. Maaf kamu sampai repot cari aku."

Dia, Kembali (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang