Ujian Praktek

210 40 10
                                    

Hal-hal yang datang pada mereka
Yang hanya menunggu adalah
Sisa-sisa dari mereka
Yang rela memperjuangkannya

------------------------------------------------------

Malam Desember masih belum diterpa hujan. Bandung raya masih kering kemarau, angin sepoi-sepoi khas daerah dingin menerpa kulitku. Aku ingat persis, esok harinya ada ujian praktek semester satu. Malam itu aku sedang di luar rumah, dia tiba-tiba menghubungiku.

Aditya : “Besok Pergi jam berapa?”

Reavani : “Mungkin jam tujuh. Kamu?”

Aditya : “Nggak tau, mau berangkat bareng?” Coba bayangkan, tentu aku takkan menolak tawaran itu.

Reavani : “Boleh, berangkat agak pagian ya. Rumah kita 'kan jauh. Ketemu di mana?”

Aditya : “Di sekolah gimana? Kita berangkat sama-sama jam enam ya. Sampai di sekolah jam setengah tujuh.” Buru-buru aku bilang ibuku malam itu, besok pagi aku berangkat jam enam untuk ujian praktek. (“Berangkat dengan siapa?”) kubilang dengan Mutia, mana mungkin kubilang dengan dia, boleh jadi aku tidak akan ikut ujian praktek paginya. Ibuku mengiyakan saja karna kubilang dengan Mutia.

Besok paginya pukul 05.30. WIB. dia sangat sulit kuhubungi, aku mendesah kasar. Pesanku sama sekali tak dibalas. Pukul 05.45. WIB. aku berangkat saja (dia tak mungkin melupakan kata-kata semalam), diantar ibuku naik sepeda motor ke gang samping sekolah. Tiba disana pukul 06.15. WIB. tapi gang itu sama sekali sepi, baru tukang jualan pisang yang sudah tiba.

Reavani : “Aditya, di mana? Aku udah sampai.” Tidak dibalas. Aku menunggunya resah, takut dia lupa atau sengaja meninggalkanku.

Aditya : “Maaf-maaf, ini baru mau jalan. Tunggu ya.”

“Mana Mutianya?” Ibuku yang sedari tadi masih menemaniku  tiba-tiba bertanya.

“Katanya masih di jalan, Bu.”

“Yaudah, Ibu pulang ya.” Aku mengangguk, mencium tangan ibu. Untung saja Ibu pulang duluan, bisa berabe kalau Ibu melihat aku berangkat dengan dia, hanya berdua. Tentu saja, bukankah tidak ada nama Mutia di sini?

Reavani : “Aku takut, Dit, di sini sendirian. Ibu udah pulang.”

Aditya : “Sabar ya, ini masih agak lama kayanya. Kamu kok cepet banget sampai?"

Reavani : “Tadi berangkat jam 05.45.” pesan itu tidak dibalas lagi. Limabelas menit berlalu, aku hanya menunggu di pinggir gang. Mematung, bahkan mungkin sudah lebih kokoh dari patung liberti.

Aditya : “Kamu di mana? Aku di sekolah.”

Reavani : “Aku di gang pinggir. Ke sini cepetan.” Tidak sampai sepuluh detik dia sudah menghampiriku terengah-engah dan menyimpul senyum. Aku membalasnya mengusap keringat di dahinya.

“Kenapa lari-lari. Nanti jatuh. Langsung berangkat?” dia senyum menatap kedua manik mataku kemudian mengangguk.

“Ke sana naik angkot yang mana?"

“Aku juga nggak tau. Hahaha.” Aku mencubit pelan lengannya.

“Terus gimana?”

“Coba lihat grup, mungkin mereka tau, Rea.” Waktu itu marak-maraknya Blackberry message, aplikasi yang menawarkan obrolan gratis. Terimakasih sekali untuk itu, hal yang mendukungku melakukan pendekatan. Juga obrolan-obrolan pesan singkat di atas juga disampaikan lewat aplikasi gratis itu.

“Dibilangnya naik yang warna hijau.” Dia memandang lurus kedapan.

“Ada tiga jurusan angkot berwarna hijau, Rea.” Aku cengengesan melihat wajah bingunya. Aku dan dia, sama-sama anak polos yang hampir tak pernah keliaran di luar rumah tanpa orang tua. Aku dan dia sama-sama anak yang hidup dengan seluruh tatacara kehidupan keluarga terpelajar, belajar, belajar, belajar, tak ada waktu untuk keliaran. Kami menyeringai, aku memberanikan diri berjalan menghampiri satu persatu angkot. Menanyakan jurusan mana, dia diam saja.

Dia, Kembali (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang