Perasaan ini entah sudah seberapa bulat
Sampai aku masih saja rela menanggung rindu yang begitu berat------------------------------------------------------
Bandung, pukul 17.03. Wib.Senja ini, aku terpekur di hadapan jeruji pembatas kelas yang dicat putih. Menilik romansa sunyi gedung tua dari balik kotak-kotak berukuran 6 x 6 cm. Gerimis turun kian menderas seolah enggan untuk berhenti. Pelajar-pelajar SMA yang tersisa beberapa orang itupun, perlahan berlarian ke tempat teduh, menghindari hujan membasahi pakaian mereka. Malahan sebagian dari mereka beranjak pulang, memilih berteduh di rumah masing-masing.
Lagi pula, sedang apa sore-sore begini masih belum kembali pada yang menanti? Ah, mungkin juga mereka baru saja selesai mengerjakan tugas kelompok, menunggu kelas tambahan, atau sekedar bermain-main menikmati masa sekolahnya, memang sudah menjadi tradisi di sekolah ini, siswa akan disibukkan dengan berbagai pelajaran tambahan.
Lantas, aku sendiri? Tentu saja ingin menapaki setiap langkah cerita yang tak kunjung usai, mengenang semua kisah masa lalu, menyusun serangkaian teka-teki tentang seperti apa perasaannya padaku. Ah anehnya, aku yang sudah tidak remaja lagi ini, seolah enggan menutup cerita cinta monyetku, cerita masa remajaku, ketika aku hanya gembira ... menikmati tiap denting perasaan jatuh cinta, tersenyum, sama seperti mereka.
Aku masih termangu menatap serangkaian bunga berwarna merah jambu yang mengait pada pohon kecil di seberang lapang, masih teringat detik-detik graduation day delapan tahun yang lalu, saat kami--aku dan dia-ku, duduk berdua di pinggir lapangan hotmix itu, di depan bunga-bunga mekar yang warnanya tetap sama. Bercerita kesana-kemari kian panjang. "Aku lanjut ke UNPAD, Rea. Kita bakal pisah kampus. Jangan lupa tetap kabar-kabarin, ya."
Lambat laun, detik-detik kalimat perpisahan itu terucap jua dari bibirnya. Hanya menunggu timing yang pas, semuanya sudah tentu akan pecah.
Senja ini, gedung tua yang menyimpan banyak ceritaku kian sepi. Keadaannya masih tetap sama dengan delapan tahun yang lalu. Saat aku dan dia melangkahkan kaki pertama kali memasuki gerbang megah sekolah baru. Cat tembok berwarna hijau, pembatas kelas berwarna putih, lapangan hotmix hitam pekat. Tak ada yang berubah, kecuali lampu-lampu tempel gemerlap yang terlihat lebih mewah dibanding delapan tahun yang lalu, jelas sudah lebih modern.
Sekolah ini masih megah, tetap paling megah di kotaku. Saat kau masuk gerbangnya, kau akan melihat sebuah benda berbentuk persegi di dalam gerbang. Itu absen otomatis bagi siswa. Bentuknya tak jauh berbeda dengan alat pendeteksi barang-barang di airport hanya ukurannya lebih besar sedikit.
Kolam-kolam ikan kecil juga airnya selalu mengalir teduh membasahi telinga, bunyinya selalu saja tenang didengar. Taman-taman bunga bougenvil rendah di sana hijau asri, bunganya mengembang merah muda, sekarang terlihat ditata lebih rapi. Tidak banyak yang berubah di sini. Hanya aku dan dia yang banyak berubah sejak hari itu. Bahkan semuanya sangat berubah. Duduk berdampingan di depan pembatas kelas, sebelum predikat yang kusandang sekarang sebagai "ALUMNI".
Hujan semakin besar. Bulatan-bulatan kecil perlahan mulai berjatuhan menapaki setiap milimeter lahan yang kering, lantas dengan impulsif menerjang lantai pualam berwarna biru di sampingnya.
Bulat ....
Bulat ....
Bulat ...."Hujannya bulat-bulat, Rea. Hehehe." Sejenak aku teringat dia. Oh, bukankah tujuanku kemari memang begitu?
Aku tersenyum getir menatap bulat hujan yang menerjang hotmix hitam di depanku, menciptakan siluet-siluet air ke atas permukaannya yang disinari lampu-lampu tempel. Di mana dia sekarang? Lama benar tidak bertemu.
Aku mengingat sesosok wajah anak laki-laki berhidung mancung, kulitnya putih, bibirnya tipis, juga yg terpenting adalah sinar dari cahaya bola matanya yang indah. Biar kuberitahu, ini bukan ceritaku yang merindukan hujan.
Senja ini, terasa begitu membosankan. Tempat ini sekarang sepi, tidak ada yang dapat kuajak bicara, mungkin mengajaku bicara, atau lebih tepatnya tidak ada dia yang biasanya duduk di sampingku, menemaniku bicara hal-hal tidak penting. "Tau gak sih kenapa donat bentuknya bulat? Kenapa nggak persegi panjang aja?" Aku tersenyum, dia teman terbaikku. Ya, tentu saja.
Senja sudah sejak sepuluh menit yang lalu berangkat malam. Ini malam Minggu, seharusnya kota Bandung akan ramai. Sayangnya, hujan malah mengguyur, orang-orang pasti akan malas ke luar.
Ini hari kesembilan cutiku di Bandung. Menghabiskan waktu di rumah Ibu adalah solusi terbaik. Enggan benar untuk mengunjungi teman-teman lama. Bukankah mereka tentu sedang sibuk dengan urusannya masing-masing? Sayangnya pertahananku roboh sore ini, aku begitu rindu dia-ku. Sebab itulah aku berkunjung ke SMA, memutar cerita-cerita masa laluku. Ironis memang. Tapi, begitulah kenyataannya.
Besok sore, mungkin akan lebih baik. Reuni kelas X Fisika 2 akan digelar. Setelah delapan tahun berpisah, mungkin akan ada kerinduan berarti, atau mungkin kerinduan yang hanya sekedar basa-basi.
Entah apakah besok dia akan datang, atau tidak sama sekali. Aku bahkan tidak perlu tahu. Setelah lima tahun berlagak lupa, berlagak tak pernah saling mengenal, berlagak tak pernah sedekat nadi, kurasa cukup sudah untuk menjawab seluruh pertanyaanku. Dia memang tak pernah menganggapku penting.
Lima tahun tersulit yang kujalani. Dia seolah benar-benar lupa padaku. Semua komunikasi terputus, mungkin saja dia sibuk dengan urusan pribadinya. Sedang aku, masih menunggu dengan ribuan mimpi-mimpi yang tak kunjung nyata.
Malam ini, pulang kerumah ibu lagi akan menjadi lebih baik. Sekarang sedang ramai-ramainya di sana. Kakakku yang kini tinggal di Bogor datang berkunjung, lengkap dengan suami dan ketiga putranya. Tentu saja, ini weekend.
***
Meja makan sudah terisi penuh. Ibuku duduk di ujung, kemudian Kakakku berhadapan dengan suaminya, aku berhadapan dengan Ilham si sulung Kakakku, Aleta berhadapan dengan Alina si bungsu. Oh ya, Ayahku sudah sejak lama meninggal. Waktu umurku masih tujuh tahun. Aku bahkan tidak ingat betul wajahnya. Ibuku wanita dengan pribadi yang tegar. Sifatnya keras mendidik ketiga anaknya. Ya, aku masih mempunyai seorang adik, namanya Farid. Beda enam tahun saja. Sedangkan aku dan kakakku yang perempuan, beda sepuluh tahun. Namanya Alissa.
"Kapan mau menikah, Rea?" Pertanyaan kakak iparku berhasil membuatku melotot.
"Ah Abang, belum Rea pikirkan," aku tersenyum kaku. Ibuku sudah menatapku.
"Kalau udah ada calon, nggak apa-apa, Dek. Kenalkan pada Ibu. Sudah cukup umur, lho." Aku mengangguk saja.
"Nanti, deh, Bu. Cari dulu calonnya. Belum ada."
"Kalau mau, Abang punya banyak teman. Tapi mungkin dokter. Kamu mau yang nggak seprofesi?"
"Boleh aja, Bang. Tapi jangan buru-buru, ya. Hehehe." Kakakku ikut tersenyum. Si kecil Alina menatapku seolah-olah mengerti.
"Farid tumben nggak ikut makan, Bu?" Kakakku menambahkan nasi ke piringku yang hampir tandas.
"Katanya udah makan tadi." Anak itu memang begitu. Selalu susah masalah makan. Padahal rasa-rasanya ketika aku seusia Farid, nafsu makanku bahkan tiga kali lipat dari hari ini.
"Memangnya, kamu belum punya pacar, Dek?" Kali ini Kakakku yang membuat mataku melotot.
"Nggak ada, aku sibuk kerja."
"Jangan kerja terus, nanti jadi perawan tua, lho."
"Ah, Kak Alissa. Jodoh 'kan nggak akan ke mana." Kakak iparku hanya tertawa saja.
"Nih, ya, Dek. Kamu itu udah dewasa, udah mapan, cantik, pintar. Kurang apa lagi buat dapetin cowok-cowok di luar sana?" Aku menghela nafas saja. Buru-buru menghabiskan makanan di piringku. Memangnya siapa yang tahu tentang ribuan harapan di hatiku?
------------------------------------------------------
Aku balik lagi dengan plot yang bakal beda dikit. Ada banyak yang aku rubah, tetep vote dan koment ya. Soalnya aku butuh perjuangan banget lho memperbaiki cerita ini. Capeee 😧 salam rindu..
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia, Kembali (COMPLETE)
ChickLitBeautifull cover by : Kelly Felicia Tahukah kamu? Aku selalu membuka pintu hatiku, selalu menunggumu pulang, sendirian dengan sejuta luka di hati, biarpun kau tak pernah berniat pulang. Aku tetap menunggu. Dan kau dengarlah, aku selalu pulang ke hat...