Nonton?

156 32 6
                                    

Seperti yang sudah seharusnya terjadi, pada akhir bulan April dia mengunjungiku setelah dua bulan terbang ke Singapura. Aku senang sekali ketika dia bertandang untuk pertama kalinya setelah beberapa waktu belakangan dia sibuk dengan urusannya di negara tetangga.

"Ini pertama datang lagi ke Indonesia?" tanyaku sambil mengambil posisi duduk berhadapan dengannya di atas sofa.

Dia mengangguk. "Ha-ah. Ini pun cuma tiga hari." Aku terdiam, perasaan canggung menyelimuti hatiku. Padahal, jeda pertemuanku dengannya hanya dua bulan, itupun dengan pesan singkat yang selalu dikirim setiap hari, bukan lima tahun tanpa kabar sama sekali.

"Nonton, yuk!" ajaknya, sembari tersenyum begitu manis padaku.

"Ha? Nonton apa? Aku nggak ada kaset." Dia terkekeh menatap kedua bola mataku.

"Gandaria City."

Aku segera mengganti pakaianku, menggunakan yang lebih cocok untuk dipakai bepergian malam-malam begini. Ah, seharusnya malam minggu ini akan menjadi istimewa, 'kan? Dia mengajakku nonton berdua, tanpa embel-embel adikku yang cerewet.

Kukenakan blus putih dengan bentuk melebar pada lengan bawah sepanjang tiga perempat, dipadu dengan celana jeans navy kesukaanku. Rambutku, kubiarkan tergerai bebas, sekarang panjangnya sudah sepunggung. Sedikit lipmate warna merah jambu dan flat shoes putih melengkapi penampilanku yang terlihat casuall.

Dia menatapku yang baru saja keluar dari kamar, bibir tipisnya melengkungkan senyuman. Aku tahu aku cantik, apalagi dengan rambut hitam legam yang tergerai. Sempurna sekali, lebih baik dari Sekar tentunya.

Dia menggandeng tanganku keluar dari lift di lantai dasar. Segera menuntunku masuk mobilnya. Terlihat elegant sekali, menggunakan celana jeans sewarna denganku, dan kemeja putih berpadu coklat muda melekat pada kulit putihnya. Aku selalu senang melihat model rambutnya, rapi dan bersih. Cocok sekali dengan wajah oriental dan mata selegam rambutnya.

Aku ingat sekali ketika zaman SMA dulu, waktu kami pergi menonton. Lucu sekali, pagi-pagi jam tujuh aku sudah berangkat. Tentu saja, bukan hendak berangkat ke bioskop. Kami menonton lomba baris-berbaris yang diselenggarakan di daerah kami. Aku dan dia berangkat bersama bertemu di sekolah. Sebetulnya hanya berjarak 3 km, tapi kami naik angkot pagi itu.

"Kamu bilang ke ibu kamu pergi dengan aku?" tanyaku suatu ketika.

"Bilang, aku bilang pergi nonton dengan Rea."

"Lha? Nggak kena marah?" Dia menggeleng pelan.

"Kamu, bilang ke ibu kamu?"

"Bilang. Tadi pagi hampir nggak boleh berangkat. Soalnya ibuku nggak tahu aku berangkat dengan siapa. Mau bilang dengan kamu, takut kena marah."

"Lantas?"

"Akhirnya bilang, tapi nggak marah. Malahan minta nomor hp-mu." Dia tersenyum mengangguk.

Kami turun dari angkutan kota, masuk gerbang SMK 2 Bandung, "Pagi, Teh, Kang. Untuk non crew silakan ambil tiket di seberang." Seseorang mengarahkan kami pada meja pendaftaran penonton.

"Eh, Reavani sama Aditya. Berdua aja, nih. Kalian pacaran, ya?" Aku melotot pada gadis berambut pendek di depanku.

"Nggak, Teh. Temen aja, mau nonton pasukan yang lomba." Gadis itu tersenyum sinis, tentu saja mengenalku. Seniorku di sekolah.

"Jadi Aditya udah nggak sama Vanessa?" Dia gelagapan menjawab. Sesekali ekor matanya menatap padaku. Gadis itu juga, seolah memperingatkanku bahwa dia adalah milik sahabatnya.

"E ... anu, nggak, Teh. Kak Vanessa kan teman aja." Aku masih sibuk menulis namaku dan namanya pada daftar tamu.

"Aku bilangin, lho, sama Vanessa kalo kamu jalan sama cewe," kata gadis itu lagi. Aku segera membayar uang tiket, dia juga mengeluarkan selembar uang kertas dari saku. Sesegera mungkin aku meraih tangannya. "Yuk, orang lain antri."

Dia, Kembali (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang