Hari Pertama Melihatnya

536 60 46
                                    

Kamu begitu sempurna
Sampai aku lupa caranya mencintai orang yang terlihat begitu baik

---------------------------------------------------


Bus patas berwarna putih berhenti, menajamkan lampu berwarna kuning ke arah depan. Seorang laki-laki paruh baya membukakan pintunya. Orang-orang ribut memasukinya, memaksakan tubuh kecil ringkih mereka menyelinap ke sela-sela keramaian, takut kalau-kalau tidak kebagian bangku. Tubuh laki-laki paruh baya itu limbung terkena desakan mereka.

"Ayo, Rea." Aku ikut menyeruak ke tengah beberapa orang yang memenuhi bus. Dia berada di depanku.

"Kamu mau duduk di sini?" Dia menunjuk kursi di belakang supir, hanya ada dua, dan kedua-duanya masih kosong. Aku mengangguk mantap.

"Kamu masuk ke dalam, Re." Tanpa babibu lagi aku segera duduk di kursi pertama. Dia melonggarkan dasi putih nya.

"Kok pakai dasi putih, Dit?"

"Memangnya kenapa? Kalau pakai dasi hitam, baju hitam, celana hitam, malah kelihatan seperti mau ngelayat orang meninggal, 'kan?" Aku terkekeh.

"Kalau pakai dasi putih, mungkin terlihat seperti pelayan restaurant." Dia tersenyum.

"Nggak apa-apa, yang penting banyak yang naksir."

"Sombong, kamu." Kami sama-sama tertawa. Mobil perlahan menderu, membelah jalanan sepi kota Bandung.

"Oh iya, minta id line kamu, Dit." Aku mengeluarkan telepon genggamku dengan sedikit sulit dari dalam tasku yang kesempitan.

"AdityaJulian12." Bibirnya masih penuh senyum. Aku mengetik cepat di layar teleponku. Muncul avatar laki-laki menggunakan kaus polo berwarna biru muda dan rambut jagungnya yang disisir ke belakang. Dia belum berubah, masih saja senang dengan dandanan casual.

"Yang ini, Dit?" Aku menyerahkan layar teleponku.

"Ha-ah." Dia masih mengulum senyum. Senyum yang sama dengan delapan tahun yang lalu. Tidak ada yang berubah.

"Udah berkeluarga sekarang?" tanyaku tanpa memandangnya, malah sambil memasukan teleponku ke dalam tas putihku.

"Punya pacar aja nggak, Rea. Hahaha." Dia memang tak pernah berubah.

"Masih nunggu yang di SMA?"

"Hahaha, gimana kamu tahu?" Senyumnya, hampir saja membuatku lupa hendak menjawab apa.

"Gampang. Kamu memang selalu gitu."

"Sejauh apapun kamu melangkah ke hati banyak wanita. Selalu saja ada alasan untuk pulang pada pemiliknya." Kami mengucapkan kata kalimat keramat itu bersama. Aku tersenyum menatapnya.

"Kamu selalu tahu tentang hati saya, Rea."

"Apa ... Tiara?" tanyaku yakin, aku tau dulu dia tertarik dengan gadis itu.

"Hahaha. Bukan." Dia melipatkan kedua tangannya keatas kepala, lalu menyandarkannya.

"Kak Citra?" Tentu saja, gadis itu juga pernah dia sebut-sebut dalam ceritanya padaku delapan tahun yang lalu, gadis berpipi bulat, nanti kuceritakan apabila diperlukan.

"Ah kakak kelas. Aku cuma main-main sama dia, Rea."

"Lantas siapa, Dit? Vanessa? Putri? Nandira? Mutia? Diana? Airin? Salsa?" Bukan! Bukan mereka yg dia suka. Mungkin aku. Ah! Terlalu banyak berharap dengan masa lalu. Gadis-gadis ini penggemar setia laki-laki di sampingku semasa SMA dulu. Tentu saja, dia-ku begitu sempurna. Tampan, baik, pintar, sopan dan pembawaan kharismatik. Apa lagi yang kurang?

Dia, Kembali (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang