Aku Tidak Mengerti

161 35 16
                                    

Aku tiba di Wih Ni Duren, Angkup, Takengon hari Sabtu. Nuansa pedesaan begitu kental, orang-orang ramai pergi ke kebun dengan kain di atas kepala, pemuda-pemuda sibuk membantu orang tuanya, memetik kopi, menanam cabe. Apapun itu, di tanah yang makmur ini, akanpun tumbuh subur.

Gayo lues, daerah terdingin di Indonesia. Ketika subuh dan malam tiba, maka jangan harap kau dapat melihat pemandangan. Sejauh mata memandang, hanya kabut, kabut, kabut. Aku menghembuskan nafas, yang keluar pun tetap sama. Kabut.

"Disini memang nggak ada jaringan ya, Bang?" Kakak sepupuku duduk di sampingku. Di atas bangku panjang yang terbuat dari kayu sambil melahap gorengan *plegeneu.

"Memang begitu lah, kalaupun ada triji macam Adek punya mana sampai kemari." Jaman itu 3g sudah begitu canggih. Untuk daerah pedalaman-- nan terisolir, macam Wih Ni Duren jaringan itu masih belum tersedia. Sekali lagi aku menghembuskan nafas yang berbalut kabut. Lantas bagaimana caranya mengabari dia bahwa aku sudah tiba?

"Terus gimana dong, Bang? Abang pakai apa?" Bang Mul sekali lagi menggigit kuenya.

"Kami mana pakai internet sering-sering. Kuota pun jarang ada, musti *pigi ke kota. Di Takengon bagus." Aku terperangah mendengarnya. Ah, entah kapan aku akan pergi ke kota.

"Di sini sama sekali nggak akan ada?" Ini usaha terakhirku untuk memberi kabar padanya-- walaupun mungkin dia tidak peduli.

"Ada sekali-dua. Itupun lemot betul. Tunggu terus, malam minggu nanti Abang ada pigi ke kota. Kalau Adek mau ikut, bilang mamak kau." Aku mendecak kesal. Seberapa lama penderitaan ini akan berlangsung?

Notifikasi BBM-ku masih menyambungkan. Signal juga tidak satupun terlihat. Sungguh, daerah dengan pemandangan asri, udara yang sejuk, dan aroma yang segar ini begitu kolot teknologi.  Bagaimana kabar dia? Apakah dia sama sibuk mencari kabarku yang menghilang sejak kemarin? Sejak aku masuk daerah Ronga-ronga yang hanya berisi hutan, monyet liar, dan jurang? Apakah dia sama sepertiku sibuk mencari jalan agar bisa terhubung? Mungkin dia tidak menganggapku sepenting itu. Lebih baik segera membantu ibu memasak di dapur, bukan?

***

"Reavani ...." Aku menoleh, mendapati seorang dengan tegap berdiri sejajar denganku.

"Selamat sore, Pak Rehan." Laki-laki itu manggut sopan.

"Kamu udah mau pulang?" Aku mengangguk ragu. Pak Rehan menatapku lalu tersenyum. Tuhan, seandainya saja hatiku belum menjadi milik seseorang, tentu Pak Rehan-lah yang akan menjadi pemiliknya.

"Bisa bicara denganku sebentar?" Laki-laki itu memasukkan tangan kedalam saku celananya. Dan itu terlihat begitu elegant.

"Tentu, mari." Pak Rehan membimbingku ke mejanya.

"Reavani, sepertinya besok siang kita akan mengadakan rapat besar-besaran.Aku bingung dengan kemerosotan dana perusahaan. Terus terjadi secara signifikan. Padahal kita sudah mem-PHK orang-orang yag dicurigai. Tetapi kerugian perusahaan sampai hari ini sudah mencapai angka 18%. Tolong, kerahkan seluruh kemampuanmu, analisis dan buatlah alibi, Vani. Siapa yang bersalah atas ini semua. Atau, perusahaan lambat-laun akan gulung tikar." Aku menatap kosong ke atas meja, memikirkan jalan seperti apa yang bisa kugunakan. "Dan aku ingin, alibi itu besok sudah dapat disampaikan pada saat rapat."

Mataku sempurna membulat. Bukankah malam ini aku akan makan malam bersama dia? Ah maksudku bersama "teman dekat" nya juga.


"Bisa, 'kan? Kuharap bisa Reavani. Hanya kamu yang ahli di bidang ini. Tidak mungkin saya serahkan ke yang lain." Laki-laki itu memutarkan kursinya. Mencari posisi yang lebih nyaman.

Dia, Kembali (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang