Rasanya, baru kemarin merasakan indahnya jatuh cinta, baru kemarin kita saling berbinar saat bertatap, baru kemarin kita tersipu malu saat bertemu, baru kemarin kita saling menggenggam erat seolah tidak ada yang boleh pergi.
jika aku boleh memilih, aku ingin membunuh perasaanku, aku ingin membencimu. Ketahuilah, ternyata sesungguhnya kamu bukan orang yang ingin aku benci. Aku masih mencintaimu aku terlalu bodoh, berlarut dalam angan bahwa kita masih bisa berjuang bersama
Rindu ini semakin menikam bertubi-tubi, seperti ia tahu bahwa kautelah meniada. Aku harus apa? aku terlalu lelah untuk bertahan namun, aku terlalu cinta untuk melepaskan-R
------------------------------------------------------
"Koko berangkat, ya. Kamu jangan lupa pulang minggu depan." Aku mengangguk seraya memeluk Ko Elvan, lelaki itu balas memelukku.
"Jangan telat makan terus, nanti pas datang ke Jakarta badan kamu kurus," dia terus menasihatiku, aku diam saja.
Lelaki berhidung bangir itu segera memasuki ruangan chek-in, akupun bergegas menuju pelataran parkir. Hari ini, Ko Elvan pulang ke Jakarta. Aku sendiri lagi di Balikpapan. Mungkin Ko Elvan dan Farid baru akan bertemu lagi denganku ketika Farid liburan semester nanti.
Ya, benar. Aku sudah memutuskan untuk tidak datang di hari pernikahan dia. Biar saja aku mengecewakannya, biar saja aku melukainya, bukankah luka yang akan kusebabkan nantinya tidak akan sama besar dengan luka yang dia berikan padaku?
Keputusanku sudah bulat, aku tidak akan pernah datang di hari paling menyedihkan itu. Tidak, meskipun dia sendiri yang akan menjemputku ke Kalimantan.
***
Enam hari berlalu benar-benar cepat. Entah karena aku yang terlalu sibuk, atau karna alam yang seolah ingin melihatku segera terluka. Hari ini, Minggu pukul sembilan pagi, dia akan melangsungkan pernikahannya dengan wanita itu. Sedang aku, masih terbaring di atas ranjang sambil tersedu-sedu menatap jam dinding.
Pukul sembilan lewat sepuluh menit, telepon genggamku berdering. Kulirik sekilas, dari Ko Elvan. Segera saja kuangkat, walaupun aku tengah tak bernafsu bicara.
"Kenapa nggak pulang?"
"Nggak kenapa-kenapa, kok. Aku lagi sibuk, besok ada rapat besar masalah proyek. Nggak bisa ditinggalkan."
"Reavani, kamu tau? Itu bukan alasan yang tepat untuk berbohong."
"Aku serius, Ko."
"Jangan menjadi lemah oleh luka, Ci. Kamu adalah kamu, wanita yang kebal terhadap luka. Semuanya akan baik-baik saja. Lambat laun, kamu akan berdamai."
"Koko benar, aku tahu itu," jawabku sambil sesenggukan.
"Sekarang, kamu lagi di rumah, di dalam kamar, berbaring, dan menangis, 'kan?"
"Berhenti, Ci. Ayo pulang ke Jakarta. Tunjukan kepada semua orang bahwa kamu kuat," lanjutnya.
"Maaf, Ko. Kali ini, aku mengaku kalah. Semua sudah selesai. Dia sudah menjadi milik orang lain."
"Pulang, Ci. Kamu bahkan belum dengar-"
"Jangan bilang apapun lagi tentang dia, Ko. Tolong. Berhenti bicara soal apapun. Kalau Koko nggak berniat meyembuhkan, setidaknya Koko nggak usah menambah luka," tukasku. Aku menekan layar teleponku, mematikan sambungan telepon secara sepihak.
Sebulir bening meleleh di atas pipiku. Pukul sembilan lewat tiga puluh. Dia sekarang pasti sedang tersenyum, bersanding dengan wanitanya yang sekarang bergelar istri. Lantas aku, sendirian meratapi diri sambil meruntuki betapa bodohnya aku mengira dia mencintaiku. Selama sepuluh tahun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia, Kembali (COMPLETE)
ChickLitBeautifull cover by : Kelly Felicia Tahukah kamu? Aku selalu membuka pintu hatiku, selalu menunggumu pulang, sendirian dengan sejuta luka di hati, biarpun kau tak pernah berniat pulang. Aku tetap menunggu. Dan kau dengarlah, aku selalu pulang ke hat...