Sepotong hati yang terluka

177 28 6
                                    

"Rere?" Lengan jenjang itu segera meraih tubuhku, mendekapnya erat-erat.

"Kamu kenapa?" Aku sempoyongan memeluk tubuh Ko Elvan. Merangsek kedalam pelukannya yang terasa hangat.

"Ibunya mabuk, Pak. Sebetulnya hanya minum dua gelas. Tapi sepertinya dia baru pertamakali minum. Belum kuat," terang orang yang mengantarkanku. Samar-samar kudengar Ko Elvan entah mengatakan apa. Yang jelas kepalaku terasa berat, bumi seolah bergoyang-goyang seperti jelly yang baru disentuh.

Ko Elvan menggendong tubuhku dengan posisi bridal, sepertinya tubuhku berat sekali. Hingga ketika tiba di atas kasur, nafasnya terdengar kelelahan.

Air mataku mengalir, terasa hangat membasahi pipi. Ko Elvan malah meninggalkanku, aku berusaha bangkit dan menarik tangannya dengan kepala yang terasa berdenyut.

Wajah lelaki itu datar sekali. Tak ada senyuman manis yang senantiasa terpancar dari bibirnya. Samar-sama dia menoleh padaku, aku mendekat dan berusaha menangkup kedua pipinya. Berharap dia tersenyum seperti biasanya. Setidaknya, hanya itulah yang bisa membuat perasaanku sedikit tenang.

"Senyum, Ko. Kenapa diam aja?" Lelaki itu bergeming, aku mendekatkan wajahku pada wajahnya. Air mata terus mengalir membasahi pipiku, aku menempelkan dahiku pada dahi Ko Elvan.

Ko Elvan menjauhkan wajahnya, menghimpit tubuhku ke tembok, dan mengurungku di antara kedua tangannya. "Bodoh. Bodoh sekali." Aku menunduk, aku segera paham apa yang lelaki itu bicarakan.

"Kenapa kamu harus seperti ini, hm? Sudah tidak ada jalan yang lebih baik untuk mengatasi rasa kecewa? Setelah ini apa lagi? Narkoba? Bunuh diri?" Matanya menyala, suaranya meninggi. Ini adalah kali pertama aku mendengar Ko Elvan marah.

"Surat undangan itu sudah sampai." Cukup satu kalimat untuk menghentikan ucapan-ucapan Ko Elvan, ruangan 4x4 m itu seketika hening. Lelaki itu menempelkan dahinya pada dahiku. Hidung kami bersentuhan. Nafas beratnya terhidu olehku.

Surat undangan itu sudah tiba. Lengkap dengan namaku sebagai turut mengundang di bagian paling atas. Tak lupa sepucuk surat darinya;

"Rea, aku sudah belikan tiket dari Balikpapan ke Jakarta untuk kamu berangkat di hari pernikahanku. Tidak ada alasan untuk tidak datang. Aku mohon, ini hanya sekali dalam hidupku. Hari terpenting, kamu musti datang."

Air mataku menderas mengingat kejadian tadi sore. Semakin aku memejamkan mata, maka ingatan tentang hari pernikahannya seolah-olah semakin menghantuiku.

Aku terkesiap, sebuah benda kenyal menempel tepat di atas bibirku. Hanya menempel, tidak bergerak. Ingin sekali aku berontak, namun tubuhku tak kuasa. Bahkan mataku saja seolah tak mampu terbuka. Perlahan bibir dingin itu bergerak, memagut pelan bibir bawahku dengan gemetar. Seolah menyalurkan perasaan kelelahan yang teramat sangat. Hanya tiga detik mungkin, lantas Ko Elvan menarik wajahnya menjauh dari wajahku.

Aku masih bergeming, lelaki itu lantas menyandarkan wajahnya pada bahuku. Nafasnya terasa berat sekali. "Koko ...."

"Maaf," lirihnya diikuti helaan nafas panjang. Aku bingung hendak melakukan apa. Mendekapnya? Apakah semua akan tetap baik-baik saja? Mendorongnya? Tidak! Aku butuh dekat dengannya.

Ko Elvan mengangkat wajahnya, mengecup dahiku lantas menenggelamkanku ke dalam pelukannya, aku kembali terisak. Entah menangisi pernikahan itu, atau menangisi perasaan tak wajarku yang kembali tumbuh pada lelaki yang mendekapku.

"Sebaiknya Cici tidur, udah malam." Aku mengusap sisa air mata di pipiku, lantas berjalan ke arah ranjang.

Ko Elvan keluar dari kamarku, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Aku masih terdiam, menikmati sisa tangis sejak dua jam yang lalu.

Dia, Kembali (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang