Kita, Teman Baik

159 33 12
                                    

Tiga minggu lamanya aku pulang ke NAD. Dua minggu di Takengon, sisanya di Aceh pidie. Keadaan jaringan di Aceh pidie jauh lebih baik. Sehingga aku juga jauh lebih sering berkomunikasi dengan dia. Beberapa kali grup juga ramai, aku bisa ikut nimbrung dengan mereka. Sayangnya isinya hanya berita tentang kedekatan dia dan perempuan-perempuannya.

Aditya : "Kamu nilai gimana? Memangnya nggak ada yang remedial?"

Reavani : "Sebelum berangkat waktu masih ujian udah kuselesaikan. Remedial atau nggak, aku udah kerjain tugasnya."

Aditya : "Lho? Kenapa kamu nggak ngajak aku?"

Reavani : "Kupikir kamu nggak mau ikut."

Aditya : "Kamu sendirian minta remidi?"

Reavani : "Bukannya biasanya memang selalu begitu?"

Aditya : "Harusnya kamu bilang aku, kan pasti aku temenin."

Reavani : "Kamu sibuk dengan dunia kamu sendiri. Sibuk dengan Kak Citra, sibuk dengan Mutia."

Aditya : "Kamu 'kan bestie aku, nggak mungkin aku nggak temenin."

Reavani : "Hehe, iya-iya bestie, sorry."

Dia memang begitu. Aku baru ingat. Dia selalu sibuk dengan dunia barunya. Maka, lupalah dia padaku. Pada dunia lamanya.

***

Pagi ini aku bangun dengan sejuta rasa perih yang masih tersisa sejak semalam. Malas sekali membuka ponsel. Untuk apa memangnya? Mengharapkan sapaan darinya?

Tuhan, aku mencintainya. Berikanlah rasa yang sama antara aku dan dia. Persatukanlah kami dalam ikatan yang engkau ridhai. Tuhanku, jika saja dia memang bukan untukku, jauhkan dia dari pandanganku, luputkan dari ingatanku, dan peliharalah hatiku dari segala macam rasa kecewa. Tuhan, aku malu mengakui bahwa perasaan ini adalah cinta namanya. Seiringkanlah langkah kami dalam mengarungi samudra kehidupan. Tuhanku, kalau saja dia bukan jodohku, maka biarkan aku bahagia dengan yang lainnya. Amin..

Kamarku sunyi senyap, bunyi jarum jam memenuhi atmosfer ruangan. Aku melipat mukena dan sajadah. Berganti dengan pakaian kantor. Blus merah bata hari ini menjadi pilihanku. Rambutku kutata sedikit, bagian samping kanan sedikit kujepit kebelakang menyisakan bagian kiri yang tergerai indah. Kupoleskan bedak tipis dan sedikit lipstik warna nude. Pantople warna peach sudah melekat di kakiku. Cantik, segar dan elegant. Aku tersenyum mematut diri.

Aku berlari menuju pelataran parkir. Ini hampir pukul 07.30. WIB. Sebuah mobil putih masuk. Aku selalu hapal, itu milik dia. Mungkinkah hari ini dia akan mengantarku? Berbaik-baik setelah kemarin menyakiti hatiku?

"Selamat pagi, Reavani." Seseorang dari balik kemudi itu turun dan tersenyum padaku.

"Pagi, maaf Aditya. Mungkin kita bisa bicara lain waktu. Aku hampir kesiangan." Aku segera membuka kunci pintu mobilku, hendak melarikan diri saja. Apakah belum cukup pembuktian kemarin malam?

"Kamu nggak akan berangkat denganku?" Dia menatapku pongah.

"Nggak usah, aku bisa berangkat sendiri." Aku masuk kebalik kemudi. Dia masih menatapku bingung. Aku memacu mobilku kencang keluar dari pelataran parkir.

Aku seharusnya bersikap sedikit lebih dewasa. Memang atas dasar apa aku musti marah? Perlukah dia menghargai perasaanku? Memangnya siapa aku baginya? Kita hanya teman, tidak lebih. Sejak dulu selalu begitu.

Dia, Kembali (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang