Sakit

264 38 17
                                    

Langit terlalu bosan menghujani rindu
Kepada yang berteduh
Di bawah ketidakpastian

------------------------------------------------------

Besoknya aku jatuh sakit, terkapar lemah tak berdaya di atas ranjang kayu. Jangan pikir karna patah hati, aku sakit lambung. Satu minggu tidak sekolah. Dan satu minggu itu juga benar-benar memberiku harapan banyak tentang perasaannya padaku. Bayangkan saja, dia tidak henti-hentinya menanyakan kabarku, dan beberapa kali juga mengucap rindu. Entah itu benar atau bergurau, yang jelas saja aku mendapat simpul-simpul harapan perasaannya.

Aditya : “Kamu sakit, Rea?”

Pesan itu tiba-tiba masuk ketika aku berbaring lemah.

Reavani : “:(” 

Aditya : “Aku kangen, Rea.”

Demi membaca pesannya, sakitku langsung sembuh, hilang semua perasaan lemah, letih, lesu dan kunang-kunang.

Reavani : “Aku juga, Dit. Hehehe.”

Aditya : “Di sekolah sepi. Nggak ada kamu sih.”

Aku tersenyum-simpul membaca pesannya.

Aditya : “Kamu harus tidur Rea, banyak-banyak istirahat. Supaya cepat sembuh dan cepat sekolah. Aku kangen.”

Reavani : “:)”

Dan pertanyaan-pertanyaan yang sama terus terlontar selama seminggu penuh, jangan Tanya kabar tentang pr dan tugas. Tentu lebih banyak. Kabar kedekatan dia dan Mutia juga semakin rapat. Aku banyak-banyak menghela napas. Sekarang aku mulai berpikir, adakah dia menaruh hati padaku?

***

Jakarta, pukul 07.30. WIB.

Pagi ini aku berangkat ke kantor, menjalankan rutinitas seperti biasanya. Hari ini terus terang aku lebih bersemangat tentu saja karena insiden kemarin. Tetapi, berita duka itu datang tanpa ampun menusuk hatiku.

Ibuku meninggal dunia di usianya yang ke 63 tahun. Padahal belakangan ini beliau baru saja sembuh dari sakitnya. Dengan secepat kilat aku pulang ke Bandung, lupakan soal calon pegawai yang akan kutemui hari ini, apalagi tentang dia.

Orang-orang memasang bendera duka di depan rumah, hatiku sungguh tersayat-sayat. Sekujur tubuhku terasa kaku, sama kakunya dengan mayat ibuku yang terbujur di ruang keluarga. Dingin, gemetar, dan keluarlah seluruh keringat tak wajar dari tubuhku. Lututku benar-benar lemas, lantas ribuan air mata turun menelusuri pipiku. Adikku yang masih SMA datang memelukku.

“Kak, ibu sudah pergi.” Erat benar dia memelukku. Tingginya sudah melebihi kepalaku. Aku membenamkan kepalaku pada dada bidangnya. Lalu ingar-bingar itu tak terdengar lagi.

“Reavani.” Suara baritone itu mengiang di telingaku. Seseorang erat mencengkram lenganku.

“Reavani.” suara itu makin jelas, aku membuka mataku. Dia datang kerumahku.

Bandung, pukul 12.15. WIB.

“Prosesi pemakaman harus segera dilaksanakan, Rea.”

Demi mendengar hal itu, tangisanku pecah lagi, adikku duduk terpaku di sampingku. Matanya sembab, wajahnya penuh gurat kepedihan. Aku tak banyak bicara, hanya mengikuti setiap langkah pelaksanaanya. Hingga ke pusara ibu.

Hari semakin sore, beranjak malam, berganti pagi, dan berangkat siang. Lantas sore lagi, malam lagi, pagi lagi, dan siang lagi. Siklusnya selalu sama dalam seminggu ini, dan kesedihanku pun terus selalu sama, tidak berkurang setitikpun.

Dia, Kembali (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang