Hari-Hari Berikutnya

238 38 8
                                    

Sungguh jangan bermain denganku
Jatuh cinta bagiku tak mudah
Katakan jika iya, dan pergi jika tidak.

------------------------------------------------------
 

Hari-hariku sekarang sibuk sekali. Pulang sekolah langsung ekstraculiculler, kerja kelompok, dan berbagai kegiatan lainnya. Hubunganku dengan dia juga semakin membaik, kami semakin dekat.

Siang itu sepulang sekolah aku berlari kecil menghampiri Diana (sekarang selalu pulang bersama Diana) mau mengajak buru-buru pulang. Tentu saja siang-siang begini perut sudah seriosa-–bukan keroncongan lagi. Dengan rahmat Tuhan yang Maha Esa, akhirnya Diana mengajaku makan mie ayam di seberang jalan, Diana yang bayar. Tapi dia harus ikut serta, Diana yang ngotot ingin mengajak dia.

“Aditya lama, Diana. Biar aku susul.” Dia sedang sibuk mengobrol dengan Adi di depan pintu kelas, aku menghampirinya dan menarik tangannya paksa.

“Ayo Dit, Diana nggak mau pulang kalo kamu nggak jadi ikut." Dia tersenyum menatap kedua bola mataku, lantas mengikuti saja tarikan lenganku.

Kami berjalan beriringan bertiga--sebenarnya tidak bertiga, aku dengan dia, Diana sendirian. Jalanan tidak terlalu ramai, cukup mudah diseberangi. Aku duduk berhadapan dengan dia, Diana di sampingku. 

“Enak, Rea?”

“Kayanya agak terlalu manis, Dit.  Kamu suka mie nya?” dia menatap kedua bola mataku.

“Suka. Malah makin manis kalo sambil lihatin aku, Re.” Aku tersenyum, resmilah Diana menjadi obat nyamuk siang ini.

“Nggak terlalu pedas, Na?” Aku menoleh menegur Diana yang sejak tadi tidak berhenti menuangkan sambal keatas mienya yang tinggal setengah porsi.

“Gue suka yang pedas-pedas, Van.” Aku tersenyum mengerti maksudnya, kami menghabiskan mienya cepat, dia bahkan membuat mangkuknya hampir kering, Diana masih bergelut dengan rasa pedasnya. 

Siang itu benar-benar istimewa, dia sekarang memberikan tatapan dan senyuman itu padaku lagi, tentu saja karna tak ada Mutia. Besoknya dia juga cepat berubah lagi, dan lihatlah sikapnya benar-benar terbagi dua dengan Mutia. Aku tersenyum miris, siang ini perubahan itu tak banyak kurasa, maklum aku masih remaja yang tak konsisten, cepat sekali merasa nyaman kembali setelah insiden yang justru kebalikannya.

***

15.30

Aditya JulianR.

Rea, kamu udah selesai?

Tiba-tiba ponselku berdering kencang.

Oh udah, Dit

Buru-buru sekali aku menjawab, padahal map hijau di atas mejaku masih menumpuk.

Oke, saya jemput kamu sekarang.

Aku terlonjak girang, cepat merapikan seluruh map yang berantakan, dan yang terpenting sekarang merapikan penampilanku.

Sekarang aku banyak sekali berubah, apalagi tentang penampilan. Dulu sama sekali aku tak perduli dengan tatanan rambut, dipotong gaya polwan saja sudah cukup. Pakaian dengan warna menusuk mata juga sudah nyaman, apalagi dengan riasan wajah dan perawatan tubuh, sama sekali tak terpikirkan.

Aditya Julian.R

Saya di lobi, Rea.

Aku tak membalas, cepat-cepat saja membenahi diri sekali lagi di depan cermin, lantas keluar tergesa-gesa menaiki lift yang rasanya sangat lambat, seperti siput yang kakinya dipotong ke enam-enamnya-- mana kutahu siput tidak punya kaki.

Dia, Kembali (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang