Chapter 21: Café

854 172 20
                                    


"Aku tidak suka seragam ini."

Seokjin berkali-kali mengeluh sambil mengecek penampilannya di depan cermin di ruang ganti café. Jimin yang baru selesai memasang dasi kupu-kupu coklat di balik kerah bajunya—yang merupakan atribut dari seragam kerja mereka—hanya mendengus mendengar keluhan Seokjin yang entah sudah ke berapa kalinya hari ini.

"Berhentilah mengeluh, Hyung. Kau harus bersyukur wajahmu tampan."

Dalam hati Seokjin mengiyakan ucapan Jimin. Ia beruntung dirinya tampan. Meskipun ia memakai seragam pelayan, ia tetap terlihat seperti anggota boyband.

"Akan lebih baik jika seragam ini warnanya pink. Aku akan bilang pada sajangnim untuk mengganti warna seragam café ini. Coklat terlalu mainstream."

Lagi-lagi Jimin hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar celotehan hyung-nya tersebut. Ia kemudian mengecek penampilannya sekali lagi di depan cermin, lalu bergegas keluar dari ruang ganti untuk mengikuti briefing para pegawai.

"Wah, sudah kuduga seragam itu cocok denganmu, Jimin-ssi." puji seorang laki-laki yang juga pelayan di café tersebut. Jimin menggaruk tengkuknya malu. Ia bingung harus bersyukur atau justru sebaliknya, karena sejujurnya ia tidak ingin dirinya cocok memakai seragam pelayan.

"Wah, wah, wah, lihat itu. Tidakkah Seokjin-ssi terlalu tampan untuk memakai seragam itu? Ia terlihat seperti pangeran yang menyamar sebagai pelayan café."

Samar-samar Jimin mendengar komentar-komentar para pegawai tentang Seokjin. Ia harus mengakui, hyung-nya itu memang tidak bisa dikalahkan kalau soal ketampanan. Bahkan tidak ada yang bilang Seokjin cocok menggunakan seragam café. Ia terlalu tampan.

Seokjin kemudian berdiri di sebelah Jimin sambil menunggu pemilik café yang akan membriefing mereka datang. Suasana mendadak canggung diantara mereka berdua. Sebenarnya setelah pulang dari rumah keluarga Park, mereka belum benar-benar berbaikan, hanya berbicara sepatah dua patah kata yang penting. Tidak cerewet seperti biasanya.

Seokjin berdehem, berusaha memecah kecanggungan yang menyiksa dirinya selama beberapa menit.

"Kau... bekerjalah yang benar." ujarnya tanpa menatap Jimin. Pandangannya lurus kedepan, entah apa yang dilihatnya, mungkin pemanggang dan penggorengan?

"H-hyung juga." balas Jimin singkat. Ia ingin berbicara lebih banyak pada Seokjin, namun rasa gengsi yang tingginya mungkin sudah melebihi tinggi tubuhnya itu menjadi pembatas diantara mereka berdua.

Beruntung sang pemilik café segera datang, jadi Jimin dan Seokjin tidak perlu melanjutkan pembicaraan canggung mereka.

"Untuk pekerja paruh waktu, Kim Seokjin dan Park Jimin, shift kalian hanya sampai jam 12 siang hari ini. Dan hari-hari selanjutnya, akan menyesuaikan dengan jadwal kuliah kalian. Bisa dimengerti?"

"Mengerti, Sajangnim."

Setelah briefing selesai, para pegawai langsung menuju tempat kerjanya masing-masing. Jimin dan Seokjin bertugas membuka café, lalu melayani pelanggan-pelanggan yang datang.

Saat pelanggan sedang sepi, Jimin pergi ke dapur untuk minum. Namun saat ingin mengambil sebotol air di kulkas, sesuatu menarik perhatiannya.

Ada anak kecil di dapur.

Anak laki-laki yang mungkin usianya masih 3 tahunan itu duduk di kursi di sudut dapur, kaki kecilnya yang tidak menyentuh lantai diayun-ayunkan kedepan dan kebelakang, tatapannya berbinar melihat seorang wanita yang tengah bekerja membuat burger.

Hello Baby [BTS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang