Chapter 28: His Worst Nightmare

700 160 32
                                    

Hari ini bukan hari yang baik. Siang yang cerah dan sejuk tiba-tiba berubah menjadi gelap dan rintik air dari langit tumpah begitu saja membasahi bumi Seoul.

Tidak ada bedanya dengan perasaan Seokjin saat ini. Ia begitu bersemangat satu jam yang lalu saat membawa Byul berkeliling taman. Sampai mimpi buruk yang disimpannya rapat-rapat muncul kembali di hadapannya seakan tidak pernah berdosa.

Kini mimpi buruk itu masih mengikuti Seokjin. Nyonya Shin, namanya. Wanita paruh baya itu adalah mimpi terburuk dalam sejarah 24 tahun kehidupan seorang Kim Seokjin. Pemuda itu sudah berupaya mengunci rapat-rapat ingatan tentang kejadian buruk yang menimpanya setahun yang lalu, namun dengan kehadiran Nyonya Shin disini, ingatan kejadian-kejadian buruk itu menyeruak kembali memenuhi pikirannya.

Kini ia berteduh di sebuah café langganannya di dekat taman. Wanita itu masih saja setia mengikuti Seokjin, meski tidak duduk satu meja dengannya.

Seokjin tidak bisa berpikir dengan benar. Ia bahkan berkali-kali membuat kesalahan pada Byul sampai bayi itu menangis. Untungnya ia membawa persediaan lebih susu milik Byul.

"Dia sangat manis. Siapa namanya?"

Suara mimpi buruk itu. Seokjin memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam sebelum menoleh pada wanita yang tengah berjongkok di sebelah kereta bayi Byul.

"Pergilah. Aku tidak ingin melihatmu."

Seokjin tahu ini bukan tata krama yang benar. Ia tidak seharusnya berkata kasar pada seseorang yang jauh lebih tua. Tapi buatnya, wanita ini adalah pengecualian. Kalau bisa ia bahkan ingin melenyapkan orang ini agar tidak mengganggu hidupnya lagi. Tapi ia tidak sejahat itu. Lagipula, kejahatan tidak perlu dibalas kejahatan. Itu bukan gaya seorang Kim Seokjin.

Diusir begitu, bukannya menurut. Nyonya Shin malah tersenyum dan duduk di depan Seokjin dengan santai.

"Kau tahu, kau tidak perlu repot-repot membalasku, Nak. Putriku sudah membenciku sampai sekarang."

Putrinya.

Seokjin tidak pernah ingat wajah perempuan itu kendati mereka pernah bertemu.

Ia bersyukur ia tidak ingat. Jika ia mengingat wajah itu, ia pasti akan merasa bersalah seumur hidup.

"Putrimu memilih pilihan yang tepat. Orang sepertimu memang pantas dihukum."

Seokjin berujar dingin. Ia bahkan melayangkan tatapan yang lebih dingin dari es pada wanita di depannya.

Lagi-lagi wanita itu hanya balas tersenyum.

Seokjin geram. Ia tidak pernah mengerti apa yang ada dipikiran wanita ini, kenapa ia begitu santai padahal seseorang yang berpotensi menjebloskannya kedalam penjara ada di depannya?

Dering ponsel milik Seokjin memecah atmosfir tegang di meja itu. Seokjin melihat nama 'Park Jimin' di layar ponselnya lalu segera menekan tombol hijau.

"Kau sudah sampai? Baiklah, aku keluar sekarang."

Setelah mematikan sambungan, ia melirik ke pintu kaca dan melihat mobil Jimin ada di depan sana.

Ia segera membereskan barang-barangnya dan mendorong kereta Byul untuk pergi dari tempat itu tanpa pamit.

Ia baru berjalan beberapa langkah, namun suara wanita itu kembali terdengar oleh telinganya.

Memang lirih, tapi ia bisa mendengarnya dengan jelas.

"Cucuku perempuan, sayang sekali."

**

"Kau kenapa, hyung?" Jimin bertanya tanpa mengalihkan perhatiannya pada jalanan di depannya yang basah karena hujan.

Bukan tanpa alasan laki-laki itu bertanya. Pasalnya Seokjin terlihat pucat. Raut wajahnya juga aneh, seperti ada yang mengganggu pikirannya sejak tadi.

Seokjin menoleh pada Jimin, berusaha memasang sebuah senyum meski bibirnya yang pucat tetap terlihat jelas.

"Tak apa. Hanya sedikit lelah."

"Seharusnya kau mengecek ramalan cuaca sebelum membawa Byul ke taman. Pasti gara-gara hujan kau jadi lemas begini."

Seokjin hanya mengiyakan omongan Jimin meski itu tidak benar. Ia lemas bukan karena terkena hujan. Kejadian beberapa saat yang lalu dan kalimat terakhir yang didengarnya dari wanita itu membuat otaknya bekerja sangat keras untuk berpikir.

Cucunya perempuan?

Maksudnya... anakku... perempuan?

Seokjin menggelengkan kepalanya. Berusaha menepis pikiran kalau 'cucu' yang dimaksud wanita tadi adalah anaknya.

Namun semakin ia berusaha menampik, pikirannya justru tambah dipenuhi oleh omongan wanita itu. Seokjin jadi ingin tahu apa maksudnya.

Kalau memang kejadian setahun yang lalu benar-benar terjadi—meski ia tidak bisa mengingatnya dengan benar—maka memang ada kemungkinan ia sudah punya anak saat ini.

Ia harus bertemu lagi dengan Nyonya Shin.

Tidak, ia harus tahu maksud omongan wanita itu. Meski melihat wajah wanita itu saja sudah membuat hati Seokjin sakit, namun hatinya lebih sakit lagi saat ia berpikir anaknya tidak pernah tahu keberadaan ayahnya.

**

"Memangnya apa sih yang ada di otakmu? Kenapa sampai sakit begini?"

Taehee terus mengoceh seperti ibu. Hoseok hanya bisa diam dan membiarkan dirinya diomeli oleh sahabatnya yang kini tengah mengompres dahinya dengan air hangat.

"Lihat, kau bahkan tidak menjawabku. Sepertinya memang ada yang salah dengan otakmu, Jung Hoseok."

Hoseok tetap mengabaikan gadis itu. Ia lebih memilih untuk memejamkan mata dan menulikan telinga. Membiarkan Taehee mengoceh sendiri. Lagipula tidak ada gunanya menjawab. Apapun jawabannya, Hoseok tetap akan kena omel.

Taehee sudah paham betul gelagat Hoseok. Seberapa lama pun ia mengoceh dan mengomeli lelaki itu, Hoseok tidak akan peduli.

Dia itu keras kepala dan juga idiot.

Begitu Taehee mendefinisikan seorang Jung Hoseok.

Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Memunculkan sosok bertubuh jangkung.

"Oh, kau disini rupanya, Taehee."

Mendengar suara tersebut, Hoseok langsung membuka mata. Ia diam-diam melirik pada Taehee yang duduk di sebelah ranjangnya.

Dugaannya benar. Pipi gadis itu bersemu merah saat arah pandangnya bertemu dengan Namjoon.

"Uhm, ya. Aku ditelepon oleh Taehyung untuk datang. Katanya Hoseok sakit."

Hoseok memutar bola matanya jengah. Bahkan dengan dirinya, Taehee tidak pernah semanis itu.

Hoseok bukannya tidak tahu kalau Kim Taehee sahabatnya itu menyukai Namjoon. Ia sangat tahu, bahkan sebelum Taehee mengatakannya pada Hoseok lewat telepon saat ia sedang di Gwangju memulihkan kesehatannya beberapa minggu yang lalu.

Gadis itu berteriak histeris di telepon, katanya Namjoon adalah sosok lelaki idaman. Dia pintar, tampan, dan juga tinggi. Hoseok mengakui kalau semua itu memang seratus persen benar. Tapi tetap saja, dadanya bergemuruh kesal tiap Taehee memuji lelaki jangkung itu.

Memangnya ia tidak setampan Namjoon?

Kenapa Taehee tidak pernah melihatnya?

To be continued...

A.N: apdet lagi hehehe semoga kalian ga bosen:')

aku seneng bacain komen2 kalian. itu tuh yang bikin aku jadi semangat nulis😂

oiya, fyi book ini kayanya mau aku batesin sampe 40 chapter aja biar ga kebanyakan dan ga bosen😂

Jadi bisa jadi endingnya di chapter 40 atau sebelum chapter 40.

Sekarang udah mulai bisa nebak2 kan hubungannya si ini sama si itu sama si eta apa. Tebak2 aja dulu, kali aja jodoh yakan(?)

Yaudah itu dulu deh. Jangan lupa commentnya ya.

Eh. Chapter selanjutnya mungkin dipublish besok malem. Kalo ga lupa💋

Hello Baby [BTS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang