Warn; this chapter may contain sensitive content.
"Seokjin-ssi, kumohon. Maafkan aku, aku benar-benar—"
"Diam, dan pergilah. Jangan pernah muncul dihadapanku lagi. Kau dan ibumu."
Seokjin melangkah tegas, meninggalkan wanita yang saat ini menjerit dan menangis penuh penyesalan. Wanita yang tadi pagi berada di sebelahnya saat ia terbangun. Wanita yang sama yang memberinya minuman aneh di klub. Ia begitu bodoh, sampai-sampai tidak mengenali bahwa si waitress baru yang semalam menumpahkan vodka ke kemejanya adalah putri dari Bibi Shin yang sedang dihindari keluarganya.
Ia memang tidak pernah tahu wajah anak perempuan Bibi Shin. Tapi ia ingat betul ayahnya pernah bilang,
"Kalau bisa kau harus menemui putri dari wanita itu saat ia tidak bersama ibunya. Bawa ia kembali ke rumah kita."
Seokjin tidak mengerti. Kenapa ayahnya meminta untuk membawa kembali perempuan itu, sementara ia sudah bersekongkol dengan ibunya untuk mencelakai mereka?
Tidak masuk akal.
Sebenarnya apa yang terjadi dengan keluarganya dan si juru masak sialan itu?
Sekretaris ayahnya, Tuan Go, hanya bilang padanya bahwa Bibi Shin diusir dari kediaman mereka karena ternyata ia adalah seorang pengedar narkoba. Memang baru sekelas teri, tapi ada hal lain yang lebih berbahaya daripada hanya sekedar memelihara seorang pengedar narkoba yang hampir mencelakai anak tertua keluarga Kim. Ada sesuatu yang belum terungkap. Dan Seokjin tidak tahu sama sekali hal apa itu.
"Namjoon-ah, bisa jemput aku? Aku ada di—" Seokjin menoleh ke sekeliling, sebelum kembali berbicara dengan Namjoon di telfon, "—dekat stasiun Sinsa exit 1."
Ia memasukkan kembali ponselnya kedalam saku jeans hitamnya. Duduk di sebuah bangku panjang menunggu jemputannya datang. Ia tidak peduli kalau saat ini dirinya sudah menjadi pusat perhatian orang-orang yang lewat. Bagaimana tidak? Kemeja putih bergaris hitamnya berantakan, ada noda bekas cairan tumpah semalam. Penampilannya pun tak kalah berantakan. Wajahnya benar-benar sembab, dan rambut cokelat tua-nya acak-acakan.
Terlihat seperti seorang pangeran pemberontak yang pergi keluar istana untuk berpesta dan tidak sadarkan diri sampai pagi.
Tin!
Namjoon tiba lebih cepat dari yang ia perkirakan.
Laki-laki berlesung pipi itu memandang Seokjin heran sekaligus prihatin. Namun ia tidak mengatakan apapun dan hanya melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.
"Jangan bertanya apapun. Anggap tidak terjadi apa-apa padaku hari ini."
Namjoon tertawa tipis sembari mengangguk.
"Mau makan hangover soup? Kau benar-benar kacau, kurasa gelar pangeran kampus akan segera dicabut darimu."
Syukurlah selera humor Seokjin itu rendah, jadi ia bisa sedikit tertawa mendengar candaan receh dari Namjoon.
"Sudah tahu aku kacau begini, masih mau mengajakku makan? Salah-salah kau dikira membawa gelandangan makan di restoran."
"Gelandangan tampan." koreksi Namjoon. Seokjin segera memandangnya jijik. "Bercanda. Apa aku terdengar se-gay itu?"
"Kau menjijikkan."
Berkat Namjoon dan segala candaan garingnya, Seokjin berhasil melupakan kejadian semalam meski hanya sesaat. Tapi cukup untuk membuatnya merasa jauh lebih baik. Namjoon tentu saja tidak benar-benar membawa Seokjin untuk makan di restoran. Mereka pulang ke apartemen, lalu Namjoon dengan segala kenekatan yang ia miliki, pergi ke dapur untuk memasak hangover soup untuk Seokjin. Meski pada akhirnya dapur mereka harus di cat ulang karena Namjoon membuat tembok dapur menghitam akibat lupa mematikan kompor. Bahkan panci yang digunakan untuk memasak sudah tidak berbentuk. Seokjin berakhir dengan tidak makan hangover soup hari itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello Baby [BTS]
FanfictionKetika 7 orang pria yang tinggal di apartemen 201 harus dihadapkan dengan merawat bayi tanpa identitas yang tiba-tiba muncul di depan pintu apartemen mereka. ••• 🌸 Completed. 🌸 Cast(s): BTS members. ⚠ DO NOT PLAGIARIZE. ©kookkiri, 2017.