Entah apa yang membuat wanita itu memilih kembali ke kafe dibandingkan pulang ke rumah. Kepalanya terasa berat, pikirannya penuh. Banyak yang harus ia ungkapkan kepada sahabatnya demi meringankan beban hidup yang ia alami kini.
Dita menceritakan semuanya secara detail kepada sahabat-sahabatnya, karena ia sudah tertangkap basah menangis setelah bertemu dengan Vino tadi. Lagipula, ia merasa sudah tidak ada yang perlu disembunyikan lagi, Toh sudah jelas Dita akan menikah dengan siapa nantinya. Jadi, sebelum hari H pernikahannya, lebih baik ia bercerita sedikit tentang Satrio. Sialnya, pikiran dan kondisi hati yang buruk menuntunnya untuk menceritakan semua.
Liza merangkul Dita dan mengusap pundak wanita itu dengan lembut.
"Seharusnya lo cerita ke kita lebih awal, Dit. Kenapa baru sekarang?" tanya Rezka.
"Gue cuma mau nanganin semuanya sendiri. Gue gabisa bergantung terus ke kalian kalo ada masalah. Karena ke depannya nanti, kalian juga akan punya kehidupan masing-masing dengan maslaah masing-masing, kan?"
"Kalo gitu bedanya lo sama si Vino apa? Kalian sama-sama mandiri tapi mandirinya salah." Celetuk Marco.
Tere langsung memberikan tatapan tajamnya pada Marco. Pria itu menghela nafas, "maaf, Dit. Gue ga bermaksud. Lo mau tau kenapa gue gapernah punya hubungan yang serius? Karena gue males aja ribut-ribut kaya lo sekarang ini. Sebenarnya cinta tuh apaansi? Cuma satu kata doang. Manusia aja yang ribet buat maknanya jadi bercabang,"
Tere mengangkat satu alisnya menunggu ucapan lanjutan dari Marco. Sementara pria yang diberi tatapan dari Tere itu mendesah kesal. "Ya intinya, jangan kebanyakan percaya sama asumsi orang-orang tentang cinta, karena cinta itu cuma 'kata' ngerti? Kalo ga, yaudah." Pria itu mengangkat bahunya acuh kemudian meraih cangkir bermotif garis-garis di atas meja.
"Ya jujur aja, Dit. Kalo gue di posisi Vino, mungkin gue akan marah juga karena shock. Jangankan di posisi si Vino, di posisi gue sekarang aja gue ngerasa rada gimana gitu karena lo gamau cerita ke kita dari awal. Tapi..., nasi udah jadi bubur. Semuanya udah kejadian." Alistair menghela nafas pasrah.
"Menurut gue ga ada salahnya untuk kasih Vino waktu sampe dia bisa bener-bener ngebiarin lo dapet posisi di hatinya. Karena..., denger dari apa yang lo bilang tadi soal masa lalu Vino itu emang beneran ga gampang buat buka hati, Dit," Tere mulai mengeluarkan asumsi.
"Tapi kalian juga tau kalo gue punya Ezra yang buat luka di hati gue. Gue berusaha sekuat mungkin untuk ngelupain Ezra dan apa yang dia lakuin ke gue dengan cara mikir bahwa Vino adalah obat yang gue cari. Obat dari luka itu. Dan gue beranggapan bahwa sama dia perlahan luka gue sembuh. Tapi nyatanya?! Gue masih dianggap orang lain." Suara wanita itu kembali bergetar. Airmatanya kembali jatuh membasahi pipi.
"Sebenarnya kalian bertiga itu ditemuin sama Tuhan pasti ada alasannya. Ya, aneh aja gitu. Ada tiga orang yang sama-sama punya masa lalu buruk dan dipertemukan dengan cara kaya gini." Hana mulai menimpali.
"Menurut gue, di posisi kaya sekarang ini Dita adalah orang yang menjadi pengambil keputusan. Lo bisa milih Satrio yang mau sama-sama ngobatin lukanya sama lo tapi lo justru dapat luka baru karena hati lo emang bukan buat dia, atau lo mau nunggu Vino entah sampe kapan untuk ngobatin luka kalian masing-masing dan mulai semuanya dengan lembaran baru. Pilihan ada ditangan lo, Dit." Liza mengusap pundak Dita lembut sembari tersenyum untuk menenangkan wanita itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Right One
Romance[Completed] Kisah tentang pencarian satu orang yang tepat.