TIGA PULUH SATU

8.4K 517 15
                                    

Dita melihat Vino yang turun dari Rubicon putihnya dengan setelan kerja. Wanita itu segera berjalan cepat ke arahnya dan memeluk pria itu.

Vino memutuskan untuk mengajak Dita makan siang di luar sekalian mengajaknya berbicara mengenai perjodohan itu. Makanya ia menjemput Dita dari kantor.

Wanita itu mengigit bibirnya agar tidak terisak. Sementara tangan pria yang ia peluk itu melingkar di bagian punggung dan kepalanya.

"Masuk ke mobil dulu, yuk. Ga enak diliat orang."

Dita mengangguk tanpa berbicara. Kemudian ia melepas pelukan itu dan melangkah ke kursi penumpang mobil Vino. Pria itu pun juga kembali masuk ke dalam mobil.

Selama perjalanan keduanya memilih untuk sama-sama bungkam. Dita yang belum siap berbicara, sementara Vino yang kepalanya sibuk berpikir membuat suasana hening di dalam mobil begitu terasa. Hanya radio yang setia berbunyi di dalam sana.

Membayangkan wajah papinya yang berbicara bahwa pernikahan itu akan dipercepat sukses membuat airmata Dita menetes begitu saja. Sifat overthingking-nya menguasai diri wanita itu. Membuat akal sehatnya sulit bekerja.

Vino membelokan mobil ke arah taman yang tidak jauh dari kantor Dita. Kemudian ia memberhentikan Rubicon putih itu di sana. Kepalanya mendadak pening, ia merasa tidak sanggup menyetir.

"Berhenti dulu sebentar, aku pusing." Ucap Vino yang menempelkan dahinya di stir.

Dita hanya mengangguk, menuruti pria itu.

Mereka masih tidak berbicara. Masih sama-sama tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Pria itu akhirnya mengangkat kepala dan menyandarkan punggung ke sandaran kursi. Ia menghela nafas berat, "kamu kapan mau mulai cerita soal kemarin?"

Dita mengalihkan pandangan dengan menatap Vino sebentar, kemudian kembali memandang ke luar jendela. "Papi bener-bener ga kasih kita restu, Vin. Keliatan banget dari cara dia kemarin yang antusias minta aku dan Satrio untuk cepet-cepet nikah."

"Papi kamu ga suka sama aku, ya?"

Dita melirik Vino, "gatau. Kayanya bukan itu yang jadi masalahnya, Vin."

Kemudian kembali hening. Mereka berdua seakan lelah berbicara. Lebih memilih diam dan asik dengan pikiran masing-masing.

"Kalo aja kamu ngelamar aku lebih dulu, semuanya ga akan kaya gini." Tiba-tiba suara Dita terdengar, membuat pria yang duduk bersisian dengannya menoleh.

"Kenapa kamu baru berani ngelamar aku setelah aku dijodohin, Vin?"

"Kamu tahu aku masih trauma sama masalah Claudia,"

"Tapi emangnya kamu ga yakin kalo aku bisa jadi obat hati kamu?"

Vino menghela nafas dalam, "Dita, jangan mulai. Aku tahu kamu stress, aku juga."

Dita terdiam. Ia kembali menatap ke luar jendela.

"Aku cuma gamau pisah sama kamu, Vin," walaupun dengan suara pelan, tapi Vino masih bisa mendengar ucapan wanita itu.

Vino meraih tangan kanan Dita, kemudian menggengamnya erat. "Sama, Dit. Sama banget." Balas pria itu lembut.

Dita menoleh, ia menatap pria yang duduk di samping kanan. Matanya menyorotkan kesedihan. "Gimana caranya biar aku bisa sama kamu?"

The Right OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang