DUA PULUH DUA

5.3K 466 9
                                        

Wanita itu masih tidak mengerti dengan apa yang diucapkan oleh Bapak dari Satrio.

"Ah-um..., maaf sebelumnya, Pak, Bu, apa saya ga salah dengar? Ibu dengan Bapak ingin menjodohkan Satrio dengan....?" Tanya Dita dengan nada bicara yang sangat hati-hati.

"Nak Dita." Jawabnya melengkapi kalimat dari ucapan Dita yang sengaja digantungkan.

Mati gue mati! Rutuk Dita pada dirinya sendiri.

"Bapak dan Ibu udah omongin ini sebelumnya dengan orangtua Nak Dita kok." Kali ini Ibu Satrio kembali buka mulut.

Dita menoleh ke arah Mami dan Papi secara bergantian dengan raut wajah yang menuntut penjelasan.

"Bapak dari Satrio ini teman akrab Papi waktu kuliah di Jogja dulu, Dit. Terus pas sebulan yang lalu, Papi ga sengaja ketemu dengan Bapaknya Satrio lagi pas ada reuni kampus. Kita ngobrol-ngobrol ngalur ngidul sampe akhirnya Papi cerita kalau Papi punya perawan yang udah dewasa tapi belum nikah. Nah kebetulan juga Bapaknya Satrio juga sama, punya anak bungsu yang udah mapan tapi belum menikah. Jadi... Ya, kita berdua memutuskan untuk jodohin kamu sama Satrio." Jelas Papi dengan wajah.

"Ta-tapi Papi sama Mami ga ada omongan sama sekali ke aku soal ini?" Jika saja tidak ada keluarga Satrio pasti nada bicara Dita akan lebih tinggi dan tidak serendah sekarang. Ya walaupun ia tidak menyukai perjodohan ini, namun urusan sopan santun dengan tamu itu kewajiban.

"Seharusnya Mami sama Papi emang bahas ini setelah kami pulang dari Jogja, tapi waktu itu Papi ada urusan di kantor jadi Papi lupa soal ini. Ya intinya kan sekarang kamu udah tau soal perjodohan." Lagi-lagi Papinya berbicara dengan nada santai. Hal ini membuat Dita jengkel setengah gila, darah di dalam dirinya terasa mendidih.

Wanita itu hanya menghela nafas dalam, mencoba untuk meredam emosinya agar tidak meledak sekarang.

"Nak Satrio sendiri bagaimana? Setuju dengan perjodohan ini?" kali ini Maminya yang mulai bertanya pada Satrio. Dita hanya memilih diam dan menyedot air mineral di gelas untuk membuat darahnya terasa lebih sejuk.

"Kalo saya tergantung dari Ditanya sendiri. Dia kan perempuan, bebas untuk menerima atau menolak pria. Lagipula saya akan sering meninggalkannya karena jadwal terbang nanti. Kira-kira Dita sendiri setuju atau tidak?"

Dita melirik Satrio. Ia menarik nafas dan berniat untuk angkat bicara. Namun, gerakan mulutnya terhenti karena Maminya langsung menyerobot untuk berbicara.

"Dita pasti setuju. Iya kan, Dit?" Ya Allah, dosa ga sih marah sama Ibu sendiri?

Dita menghela nafas dalam-dalam, ia hanya menjawab ucapan Maminya dengan senyum sekilas.

Satrio membalas senyumannya dengan senyum tipis. "Mungkin saya dan Dita butuh waktu untuk pendekatan sebelum kami benar-benar dijodohkan dalam arti menikah nanti. Bagaimana, Dita?"

"Uhm... i-iya, setuju." Dita mengangguk pelan. Ya, setidaknya dia bisa mencari cara untuk membatalkan perjodohan ini selama masa pendekatan nanti.

"Yasudah jika itu mau kalian. Yang menjalani nanti kan kamu sama Nak Dita, kami para orangtua cuma kasih restu aja." Ibu Satrio ikut menimpali.

"Yaudah kalo itu mau kalian berdua." Tambah Mami Dita.

Setelah perbincangan mengenai masalah perjodohan itu, Keluarga Satrio dan Dita mengobrol-ngobrol tentang segala hal. Benar-benar segala hal, dari mulai pekerjaan sampai Papi dan Bapaknya Satrio mebahas pertandingan bola. Yap, boys always be boys.

The Right OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang