DUA PULUH SEMBILAN

5.6K 480 4
                                    

"Kamu yakin mau langsung coba ngomong sama Tia soal itu sore ini?" tanya Dita melalui sambungan telepon.

"Kalo ga sekarang kapan lagi? Seenganya kalau dia nolak batalin perjodohan aku, kan aku bisa coba lagi dengan cara yang beda." Jawab Vino yakin. Pria yang satu ini begitu bersemangat untuk membatalkan perjodohannya.

"Apapun hasilnya langsung hubungin aku, oke?"

"Uh-um, tenang aja. Pasti aku hubungin."

Dita menghela nafas pelan, "okey, wish you luck." Sudut bibir wanita itu sedikit terangkat membentuk senyum tipis.

"Makasih. Doain semoga Tia mau, biar kita bisa cepet nikah,"

Wanita itu tertawa kecil mendengar ucapan Vino. Ia mengangguk, "pasti." Balasnya semangat.

"Yaudah, nanti aku hubungin lagi kalo udah selesai ngomong."

"Iya. Assalamualaikum,"

"Waalaikumsala." Tepat setelah Vino menjawab salamnya, Dita memutus sambungan telepon.

Ia merasa was-was dengan keputusan Tia nanti. Bagimana jika wanita itu menolak membatalkan perjodohan mereka? Orangtua Vino pasti tidak mau tahu lagi. Lalu, perjodohan mereka hanya tinggal menghitung hari hingga hari H pernikahan.

Dita memijat pelipisnya pelan. Kepalanya benar-benar pening seakan ingin pecah. Masalah yang ia hadapi seperti benang kusut yang terikat sehingga sulit menemukan bagian ujungnya.

Dita meneguk air putih dari gelas yang ia letakkan di meja. Suara langkah sandal teplek yang menuruni anak tangga sukses membuat matanya melirik ke sumber suara.

Papinya turun dari atas dan melangkah menuju meja makan. Memang sudah tradisi keluarga mereka sarapan di rumah bersama.

"Pagi, sayang," Pria bertubuh gempal itu mengecup pipi isitrinya yang sedang meletakan wadah berisi nasi goreng di atas meja.

Pandangan mereka bertemu setelah Papinya menarik salah satu kursi di meja makan.

"Pagi, Pi," sapa Dita dengan sedikit kikuk.

Pria itu hanya mengangguk dan menanggapi seadanya.

Dita benar-benar benci keadaan canggung yang terjadi di antara ia dan Papinya. Wanita itu tidak merasa salah, karena memang menentukan pasangan hidup adalah hak setiap manusia. Tapi, ia tidak bisa menangkal betapa tidak enak posisi Papinya yang sudah terlanjur janji dengan Bapak dari Satrio.

Milan dan Malika yang tidak lama bergabung di meja makan pun mulai asik terlibat dalam obrolan pagi dengan Papi. Sementara ia hanya berpura-pura sibuk dengan ponsel. Dita merasa seperti orang asing di dalam rumah sendiri.

Maminya ikut bergabung dan duduk di samping Dita. Formasi duduk yang tidak pernah berubah sejak dulu.

"Papi, pimpin doa," ucap Maminya lembut.

Pria itu mengangguk dan mengangkat kedua tangannya. Mulai membaca doa makan yang diikuti dalam hati oleh setiap orang di meja makan.

"Aaamiiin." Papinya mengusap wajah dengan kedua telapak tangan. Semua yang ada di meja makan itu pun mengikutinya.

"Ayo makan," ajak pria bertubuh gempal itu.

The Right OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang